> >

Tabrakan Depan Belakang Dominasi Kecelakaan di Tol, Penyebabnya Selisih Kecepatan

Sapa indonesia pagi | 6 November 2021, 10:44 WIB
Agus Taufik Mulyono menyebut jenis tabrakan yang dominan terjadi di jalan tol adalah tabrakan depan dan belakang. Hal ini disebabkan oleh adanya gap perbedaan kecepatan kendaraan. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Jenis tabrakan yang dominan terjadi di jalan tol adalah tabrakan depan dan belakang. Hal ini disebabkan oleh adanya gap perbedaan kecepatan yang signifikan antara kendaraan pribadi dan kendaraan berat.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Prof. Agus Taufik Mulyono menjelaskan, perlu adanya edukasi bagi pengguna jalan tol dengan sistem pembelajaran yang komprehensif dan holistik.

Tetapi, selain edukasi pada pengemudi kendaraan di jalan tol, juga perlu adanya perhatian serius terkait manajemen dan rekayasa lalulintas yang baik di jalan tol.

“Karena, beberapa kendaraan berat kan kecepatannya rata-rata 40 sampai 50 kilometer per jam. Sementara kendaraan pribadi tidak terkendali bisa mencapai 140 sampai 150. Di sini terjadi gap kecepatan sekitar 100 kilometer per jam,” tuturnya dalam Sapa Indonesia Akhir Pekan KOMPAS TV, Sabtu (6/11/2021).

Dengan perbedaan kecepatan yang bisa mencapai 100 kilometer per jam tersebut, ketika terjadi pengereman mendadak, tidak mungkin dapat diatasi atau ditoleransi oleh daya pikir dan daya nalar manusia.

“Maka terjadi tabrakan depan dan belakang. Ini juga tipe-tipe tabrakan yang paling dominan yang terjadi di jalan tol,” tegasnya.

Dia menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian terkait banyaknya kecelakaan yang terjadi di jalan tol.

Baca Juga: Gelar Olah TKP, Polisi Buat Sketsa Kasus Kecelakaan Maut Vanessa Angel

Pertama, bagaimana manusia diajarkan mengelola dirinya pada waktu mengemudi, melihat kondisi lingkungan dan sebagainya. Kedua, kondisi kendaraan.

“Jangan dipaksakan, masa Avanza dipaksakan 100 kilometer per jam, ini kan bahaya. Atau kita juga ngecek bagaimana kondisi ban dan sebagainya.”

Dia menegaskan agar tidak menyalahkan jalan tol. Karena jalan tol sudah memenuhi laik uji, laik fungsi teknis, laik fungsi administratif, dan laik operasional.

Yang perlu kita persoalkan adalah bagaimana melakukan edukasi. Misalnya kendaraaan dengan kecepatan 80 kilometer atau 100 kilometer per jam tetapi terus menerus mengambil jalur tengah.

Menurutnya itu menandakan bahwa pengemudi belum paham bahwa dia tidak boleh berada di jalur kanan terus menerus.

“Ketiga, perlu pemantauan dari penegak hhukum secara sidak rutin. Jangan sekadar formalitas. Lalu ETLE, perlu juga dikembangkan di jalan tol,” tuturnya.

Sehingga, saat pelanggar aturan di jalan tol keluar dari tol, petugas bisa langsung menangkap, memberitahu, atau menilang.

Tol bukan tempat ugal-ugalan

Prof. Agus juga menyebut bahwa pengguna jalan tol harus memahami bahwa jalan tol bukan tempat untuk ugal-ugalan atau pamer kecepatan waktu tempuh.

“Jadi yang disiapkan oleh publik atau masyarakat adalah jalan tol itu bukan tempat ugal-ugalan, bukan tempat arogansi,” tegasnya.

Untuk meminimalisir kecelakaan sekaligus meningkatkan kewaspadaan pengguna, dia menyarankan agar peringatan mengenai kecepatan maksimum dibuat setiap kilometer.

“Kalau perlu bukan hanya simbol tapi juga tulisan, misalnya ‘Kalau Anda melebih batas kecepatan, Anda akan meninggal di jalan’. Itu adalah tulisan-tulisan yang bisa memberikan efek jera.”

Baca Juga: Kecelakaan di Jalan Tol, Pakar Sebut Jalanan Tak Bermasalah dan Perlu Edukasi untuk Pengemudi

Pengelola jalan tol juga harus melihat dan mempelajari pola-pola kecelakaan, ada menabrak barrier dsb.

Hal lain yang perlu ditanamkan pada pengelola jalan adalah jika bicara keselamatan, endingnya keselamatan dikaitkan dengan infrastruktur jalan.

Kata kuncinya, lanjut Agus, adalah bagaimana jalan masih memaafkan jiwa manusia ketika si manusia sebagai pengguna melakukan kesalahan, keteledoran, kelelahan, atau melakukan tindakan tidak patuh pada aturan.

“Ini yang penting ditanamkan dalam mengelola jalan,” kata dia.

Agus juga menyebut adanya masukan yang menyarankan agar median jalan dihilangkan dan diganti dengan tanah datar di tengah-tengah antara dua jalur hingga 10 meter.

“Tapi kita sudah punya pengalaman itu dulu. Apa yang terjadi? Banyak orang nyelonong masuk ke jalur lawan, akibatnya lebih fatal lagi. Akhirnya diambil alih menjadi bentuk median yang ditinggikan,” tambahnya.

Intinya, jika laju kendaraan melebihi kecepatan maksimum, pengemudi mengalami kelelahan, kemungkinan mengalami tabrakan masih mungkin terjadi.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU