> >

Ini Pentingnya Gunakan Perspektif Korban dalam Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Anak

Hukum | 15 Oktober 2021, 11:37 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. (Sumber: Davies Surya/BBC)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Sejumlah pihak mendorong aparat kepolisian yang mengupas tuntas penyidikan kasus kekerasan seksual untuk berpihak kepada korban atau melakukan penyidikan menggunakan perspektif korban.

Hal tersebut sebagaimana pernah dikemukakan oleh Asosiasi LBH APIK Indonesia bersama 16 kantor LBH APIK yang mencatat minimnya perspektif keberpihakan pada korban dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.

Salah satunya yang menyoroti kasus dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang sempat ditutup penyidikannya karena dari hasil visum menyatakan korban dinilai tidak memiliki trauma dan luka pada alat vital.

Apa itu perspektif korban?

Pakar hukum Bivitri Susanti mengartikan perspektif korban adalah soal bagaimana seseorang harus berpikir seakan-akan menjadi korban yang menderita, sakit, dan mungkin tidak paham akan sebuah pertanyaan karena masih anak-anak.

Berikut sejumlah fakta terkait pentingnya perspektif korban digunakan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual pada anak.

1. Memicu terjadinya ketidakadilan

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menyatakan pentingnya perspektif korban untuk digunakan otoritas kepolisian dalam melakukan penyidikan kasus kekerasan seksual. Terutama dalam hal ini, kekerasan seksual pada anak.

Bivitri menilai apabila kemudian perspektif korban tidak dilakukan, maka yang terjadi nantinya justru ketidakadilan.

"Kalau ditutup dari awal dan kemudian prosedur mencapai kebenaran itu juga tidak dilakukan dengan perspektif korban, maka tadi yang terjadi adalah ketidakadilan," kata Bivitri Susanti kepada Kompas TV dalam program "Dialog Sapa Indonesia Pagi", Jumat (15/10/2021).

2. Adanya Kebijakan pendampingan saat anak melakukan proses penyidikan

Lebih lanjut salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI) ini juga menjelaskan bahwa penyidikan dengan pendekatan perspektif korban akan menekankan kepentingan terbaik bagi anak.

Artinya, segala prosedur yang dilakukan harus mengutamakan kepentingan korban. Seperti misalnya, saat korban kekerasan seksual anak akan menjalani pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan, maka harus didampingi setidaknya oleh seorang advokat atau psikolog serta psikiater.

"Intinya pendekatannya itu harus menekankan kepentingan terbaik anak dalam arti dia misalnya, harus tetap mengikuti prosedur sebagai korban," ujarnya.

Pendampingan tersebut menjadi penting karena selain mengedepankan kepentingan korban juga akan membantu anak saat menjawab pertanyaan penyidikan.

3. Pertanyaan penyidikan untuk anak-anak akan berbeda dengan orang dewasa

Bivitri juga mengingatkan bahwa seharusnya pertanyaan terhadap anak-anak dan orang dewasa tidak disamakan.

"Sehingga pertanyaannya, Bapak kamu kemarin ngapain? Itu pendekatannya tidak bisa seperti itu, (tidak) seperti kita bertanya kepada orang dewasa," kata Bivitri.

Menurut catatannya, anak-anak akan cenderung sulit menjawab lantaran soal pelecehan atau pemerkosaan belum masuk pada konstruksi pemikirannya.

"Bagi anak dalam catatan kami untuk mengenali saya telah dilecehkan atau saya pernah diperkosa itu belum terlalu masuk dalam konstruksi pemikiran anak-anak," ucapnya.

Dalam hal ini, jika dalam proses penyidikan maka orang yang perlu melakukan prosedur dengan perspektif korban adalah otoritas kepolisian.

"Jadi dengan cara itulah, seharusnya prosedur penanganan perkara kekerasan seksual dijalani," katanya.

Penulis : Nurul Fitriana Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU