Dukung Penyintas Kekerasan Seksual, LPSK: RUU PKS Harus Lebih Komprehensif
Gaya hidup | 6 September 2021, 10:01 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus kekerasan dan pelecehan seksual terus berulang. Pelakunya pun dari berbagai kalangan.
Belakangan yang turut menjadi pembahasan adalah bagaimana memulihkan dan melindungi penyintas kekerasan seksual dari traumanya. Hal ini muncul seiring mencuatnya kasus pelecehan yang terjadi di dalam lingkungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar menjelaskan, proses pemulihan bagi penyintas kekerasan seksual harus diiringi dengan dukungan sosial yang penuh.
Dalam hal ini, support system menjadi sangat penting. Apabila penyintas hidup di lingkungan yang tidak mendukung atau lingkungan yang menyalahkan korban, menurut Livia, tentu proses pemulihannya menjadi lebih panjang.
“Ketika penyintas memiliki keberanian untuk speakup atas kasus yang dialaminya, pendengar tidak boleh menilai dan menghakimi sebab respons psikologis setiap orang memiliki tingkat kerumitan yang berbeda-beda,” tuturnya, Jumat (3/9/2021).
Livia menerangkan, pada saat penyintas membutuhkan orang untuk menjadi tempat bercerita, harus ada yang bisa menemaninya. Baik menemaninya saat meminta bantuan ke psikolog hingga selama perjalanan pemulihan.
“ Jangan menjadi hakim. Jangan sekali-kali membandingkannya dengan orang lain. Sering kali, kata-kata malah bisa menyakiti,” ia menekankan.
Baca Juga: Tak Hanya Perempuan, Laki-Laki Juga Rentan Terhadap Kekerasan Seksual di Tempat Kerja
Untuk itu, saat penyintas melapor kasus kekerasan seksual kepada penegak hukum, seharusnya laporan tersebut dapat diterima terlebih dahulu. Melihat, tidak mudah menjadi penyintas yang berani melapor karena bisa saja terjadi usai speakup di media sosial ada ancaman UU ITE.
Di samping itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, banyak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual tapi lebih memilih diam karena konstruksi pemikiran masyarakat kerap menempatkannya sebagai sosok yang mesti kuat.
"Dalam masyarakat patriarki laki-laki dikonstruksikan untuk kuat dan tidak cengeng sehingga ketika ia menjadi korban kekerasan seksual akan memilih bungkam," kata Siti, Kamis (2/9/2021).
Adapun, Livia yang aktif menjadi pembina di Yayasan Pulih tersebut menekankan, kasus kekerasan seksual merupakan permasalahan yang kompleks. Dukungan sosial yang lebih luas sangat dibutuhkan, meliputi perbaikan sistem hukum dan sistem pemulihan agar penyintas berani untuk melaporkan kasusnya serta mendapatkan keadilan.
“Negara perlu hadir dalam perlindungan dan pemulihan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah digagas memang harus lebih komprehensif, jadi tidak hanya ditekankan pada hukuman untuk pelaku tetapi juga tentang bagaimana proses pemulihan bagi penyintas,” pungkas dia.
Baca Juga: KPI Bebastugaskan Delapan Terduga Pelaku Perundungan dan Pelecehan Seksual
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV/Antara