Kenapa Laki-Laki Korban Kekerasan Seksual Banyak yang Diam? Komnas Perempuan: Sering Tak Dipercaya
Sosial | 2 September 2021, 17:41 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kekerasan seksual terhadap laki-laki bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Namun, kenyataan ini sering kali tak dipercaya oleh masyarakat awam.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi saat menanggapi dugaan kasus perundungan dan pelecehan seksual pada pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS.
Siti mengatakan, banyak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual tapi lebih memilih diam karena konstruksi pemikiran masyarakat kerap menempatkannya sebagai sosok yang mesti kuat.
"Dalam masyarakat patriarki laki-laki dikonstruksikan untuk kuat dan tidak cengeng sehingga ketika ia menjadi korban kekerasan seksual akan memilih bungkam," kata Siti, Kamis (2/9/2021).
Baca Juga: Sikap KPI soal Dugaan Pelecehan Seksual yang Viral di Pesan Berantai
Selain itu, dalam pola pikir tersebut, potret laki-laki normal juga sering diidentikan dengan aktivitas seksual yang maskulin, termasuk bercanda dengan nuansa seksual.
"Akibatnya ketika laki-laki mengaku sebagai korban kekerasan seksual, (masyarakat pada umumnya) tidak dipercaya," jelas Siti.
Siti menambahkan, kekerasan dan pelecehan seksual sebenarnya bisa dialami oleh gender apa pun termasuk laki-laki, terlebih jika ada unsur ketergantungan antara korban dengan pelaku.
Contohnya keterkaitan dalam urusan pekerjaan antara korban dengan pelaku, seperti halnya dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan KPI.
Baca Juga: Sikapi Kasus Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerjanya, KPI Akan Lakukan 3 Langkah Ini
Dalam pandangan Siti, dugaan kekerasan seksual yang terjadi di KPI menunjukan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) harus segera dilakukan.
"Kasus ini juga memperlihatkan semakin pentingnya pembahasan dan pengesahan RUU PKS yang mengatur tindak pidana pelecehan seksual fisik maupun nonfisik," papar Siti.
Jika RUU tersebut disahkan, maka setiap kementerian, lembaga, badan publik hingga dunia usaha memiliki payung hukum untuk membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
"Karenanya kami mengharapkan ada dasar hukum kuat yang memandatkan setiap lembaga untuk membuat SOP yaitu melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," tandasnya.
Baca Juga: Tim Baleg DPR RI Usul Nama RUU PKS Diubah Jadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Sebelumnya, Rabu (1/9/2021), seorang pegawai KPI Pusat berinisial MS mengaku mengalami perundungan dan pelecehan seksual sejak tahun 2012 hingga 2017 di lingkungan kerjanya.
Pelaku tindakan itu diketahui merupakan beberapa rekan kerja MS sendiri. Oleh sebab itu, kini KPI tengah melakukan investigasi internal untuk mendalami perkara tersebut.
Ketua KPI Pusat Agung Suprio menyebut pihaknya sangat mendukung aparat penegak hukum untuk melakukan penanganan.
Agung juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menolerir tindakan perundungan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh siapapun di lingkungan kerjanya.
Teruntuk MS yang menjadi korban perundungan dan kekerasan seksual, Agung menjamin akan menyediakan pendampingan hukum dan psikologis dari KPI
Agung juga menegaskan bahwa MS sebagai korban akan mendapatkan pendampingan hukum dan psikologis dari KPI.
Penulis : Aryo Sumbogo Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas.com