> >

Empat Hakim MK Sampaikan Alasan Berbeda Soal Alih Status Pegawai KPK, Saldi Isra: ASN Adalah Hak

Peristiwa | 31 Agustus 2021, 19:52 WIB
Empat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) melalui concurring opinion atau alasan berbeda menegaskan, meski permohonan uji materi UU KPK soal peralihan pegawai menjadi ASN ditolak, tetapi peralihan status tidak boleh merugikan hak pegawai. (Sumber: Tangkapan Layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Empat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, meski permohonan uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) soal peralihan pegawai menjadi ASN ditolak, tetapi peralihan status tidak boleh merugikan hak pegawai.

Dalam hal ini, menurut empat hakim, peralihan status bukanlah seleksi calon pegawai baru, sehingga tidak ada yang disebut memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat.

Hal tersebut disampaikan dalam pembacaan alasan berbeda atau concurring opinion dari empat hakim, yaitu Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.

"Status peralihan bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK bukanlah proses seleksi calon pegawai baru yang kemudian dapat dinyatakan memenuhi syarat atapun tidak memenuhi syarat," kata Saldi Isra saat membacakan concurring opinion dalam sidang putusan MK secara daring, Selasa (31/8/2021).

Lebih lanjut, Saldi menerangkan sebagaimana isi dalam pasal 69B dan 69C UU 19 tahun 2019 tentang KPK secara tepat tujuan dan maksud norma dalam ketentuan peralihan dalam sistem peraturan perundang-undangan perubahan status tersebut harus dipandang sebagai sesuatu peralihan status, bukan seleksi calon pegawai baru.

Bahkan, dalam aturan konstitusi tersebut dinyatakan, peralihan status merupakan hak yang harus dipenuhi sebagaimana semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019.

"Lebih tegas lagi peralihan status menjadi ASN merupakan hak hukum bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK," lanjutnya.

Artinya bagi pegawai KPK, peralihan status menjadi pegawai ASN bukan atas keinginan sendiri, melainkan perintah undang-undang.

Oleh karena itu, MK menegaskan, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan.

Menurut empat hakim konstitusi, hal ini disebabkan dedikasi para pegawai KPK yang telah mengabdi di lembaga antirasuah dalam pemberantasan korupsi tidak perlu diragukan.

Baca Juga: Tok! MK Putuskan Tolak Permohonan Uji Materi UU KPK Soal Alih Status Pegawai Jadi ASN

"Dalam konteks demikian, meski permohonan a quo ditolak, namun pertimbangan hukumnya dapat dijadikan momentum untuk menegaskan pendirian MK ihwal peralihan status penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK secara hukum menjadi ASN sebagai hak yang harus dipenuhi sebagaimana semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019," terangnya.

Adapun, kata Saldi, tes baru bisa dilakukan oleh KPK bukan untuk penentuan alih status pegawai menjadi ASN.

Melainkan, tes tersebut dapat digunakan untuk menempatkan pegawai KPK dalam struktur organisasi sesuai dengan desain baru.

Bahkan lebih lanjut, tes tersebut dapat digunakan sebagai promosi dan demosi pegawai ASN di KPK.

Meskipun, dua pasal terkait peralihan status KPK, yaitu pasal 69B ayat 1 dan pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditolak untuk uji materi.

Dua pasal tersebut, kata Saldi, seharusnya menjadi semangat secara sungguh-sungguh untuk dimaknai sebagai pemenuhan hak-hak konstitusional pegawai KPK sebagai warga negara.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak permohonan uji materi UU KPK yang berkaitan dengan alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menurut Ketua MK Anwar Usman, seluruh permohonan yang didalilkan pemohon, tidak beralasan menurut hukum.

Oleh karena itu, permohonan tersebut harus dinyatakan ditolak untuk seluruhnya.

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar dalam sidang yang disiarkan secara daring, Selasa (31/8/2021).

Adapun uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) khususnya Pasal 68B Ayat 1 dan Pasal 69C diajukan oleh Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia yakni Yusuf Sahide.

 

Penulis : Nurul Fitriana Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU