> >

Konglomerat Samin Tan Divonis Bebas dari Kasus Suap Rp 5 MIliar ke Anggota DPR

Kriminal | 30 Agustus 2021, 17:02 WIB
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memutus bebas Samin Tan dari dakwaan gratifikasi pada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. (Sumber: Kompas TV/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memutus bebas Samin Tan dari dakwaan suap pada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.

Ketua Majelis Hakim Panji Surono menyatakan, Samin Tan tidak terbukti bersalah, meski memberi hadiah sebesar Rp 5 miliar.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Samin Tan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama maupun alternatif kedua. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan penuntut umum," kata Hakim Panji Surono dalam sidang di Tipikor Jakarta, Senin (30/8/2021), dikutip dari Antara.

"Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan harkat, dan martabatnya," kata Hakim Panji.

Baca Juga: Bupati Probolinggo Kena OTT KPK, Laporan Kekayaannya Capai Rp10 Miliar

Padahal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut agar Samin Tan mendapat vonis 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Samin Tan, yang merupakan konglomerat pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM), memberikan uang Rp 5 miliar pada Eni Maulani Saragih dalam 3 tahap.

Ia memberikan uang itu agar Eni Saragih mau membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.

Majelis hakim dalam persidangan itu terdiri dari Panji Surono, Teguh Santoso, dan Sukartono.

Dalam pertimbangannya, mereka menyebut perbuatan pemberian gratifikasi itu belum diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Hakim Teguh Santoso, UU Tipikor hanya mengatur soal gratifikasi dari sisi penerima yang merupakan pejabat negara.

"Terdakwa Samin Tan, selaku pemberi gratifikasi kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR, belum diatur dalam peraturan perundang-perundangan. Yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B," kata Teguh Santosa.

Majelis Hakim juga beranggapan tindakan Samin Tan tidak termasuk delik suap, melainkan gratifikasi sesuai pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Sementara, Majelis Hakim mengatakan tidak mungkin gratifikasi mengancam pidana pada pihak pemberi.

Baca Juga: Pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar Terbukti Langgar Kode Etik, Gaji Dipotong 12 Bulan

"Sejak awal UU KPK dibentuk gratifikasi tidak dirancang untuk juga menjadi tindak pidana suap, gratifikasi menjadi perbuatan yang dilarang terjadi saat penerima gratifikasi tidak melaporkan hingga lewat tenggat waktu yang ditentukan UU," ucap Hakim Teguh.

Mereka menilai bukan Samin Tan, tapi Eni Saragih lah yang melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak melaporkan gratifikasi.

"Sifat melawan hukum penerimaan gratifikasi ini ada dalam diri si penerima bukan dalam diri si pemberi. Sikap melawan hukum ini ditunjukkan kepada penerimanya hal inilah yang membedakan antara gratifikasi dan suap," kata Hakim Teguh.

Selain itu, Majelis Hakim memandang tidak ada aturan perundang-undangan yang mengatur pemberi gratifikasi.

"Menimbang karena belum diatur dalam peraturan perundangan maka dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan pelaku perbuatan tidak akan dipidana kecuali dengan peraturan perundangan yang sudah ada maka ketentuan Pasal 12 B tidak ditujukan kepada pemberi sesuatu dan kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya," kata hakim.

Di sisi lain, Eni Saragih mendapat vonis 6 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan, dan kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.

Vonis itu diberikan Majelis Hakim PN Tipikor di PN Jakarta Pusat pada 1 Maret 2019. Ketika itu, Majelis Hakim menilai Eni Saragih terbukti bersalah menerima Rp10,35 miliar 40 ribu dolar Singapura, termasuk Rp 5 miliar dari Samin Tan.

"Terdakwa Samin Tan adalah korban dari Eni Maulani Saragih yang meminta uang untuk membiayai pencalonan suaminya sebagai calon kepala daerah di kabupaten Temanggung Jawa Tengah," ujar hakim.

Majelis Hakim menilai Eni Maulani Saragih tidak punya kewenangan untuk mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM No.3174K/30/MEM/2017 mengenai terminasi Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batubara (PKP2B) untuk PT Asmin Kolaindo Tuhup (AKT), anak perusahaan PT BLEM. 

Baca Juga: Pakar Hukum Sebut Cara Pemerintah Tagih Dana BLBI Rumit dan Akan Berlarut-larut

Pemilik wewenang pencabutan itu adalah Menteri ESDM. Sehingga, Majelis Hakim menganggap terdakwa Samin Tan memberikan uang kepada Eni maulani sebagai korban pemerasan.

Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum KPK Ronald F Worotikan langsung menyatakan kasasi.

Sementara, penasihat hukum Samin Tan, Yadi Noviadi Yusuf mengaku bersyukur atas putusan itu.

"Alhamdulillah terima kasih majelis hakim mendengar itu membaca putusan bebas. Jujur kita terkejut ya tapi karena hakim berani menerima argumentasi kita, kita pakai akademisi, tidak praktisi kita lebih menerangkan bagaimana sifat melawan hukum. Kita tunggu saja nanti upaya hukum dari jaksa," kata Yadi.

Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV/Antara


TERBARU