Mengenang 25 Tahun Peristiwa Berdarah "Kudatuli"
Politik | 27 Juli 2021, 08:44 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Selasa (27/7/2021), tepat 25 tahun yang lalu terjadi peristiwa berdarah yang akan selalu dikenang oleh kader Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Pagi-pagi buta, 27 Juli 1996, Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat diserang oleh massa yang diduga pendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan.
Di balik kejadian bentrokan itu, nama Sutiyoso disebut-sebut bertanggungjawab sebab posisinya sebagai sebagai Pangdam Jaya berpangkat Mayor Jenderal.
Meski demikian, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku bahwa dirinya tetap memiliki hubungan baik dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri hingga saat ini.
"Bu Mega yang calonkan saya jadi Gubernur DKI," kata Sutiyoso seperti dilansir dari Kompas.com, Selasa (27/7/2021).
Baca Juga: Ditunggu Penuntasan Kasus Kudatuli oleh Komnas HAM
Ia menyatakan bahwa Megawati mengetahui posisi dirinya saat itu, meski akhirnya menimbulkan banyak korban jiwa. Namun, dirinya memastikan bahwa Megawati tak pernah membenci dirinya.
"Beliau tahu persis posisi saya di mana," ujarnya.
Kembali ke peristiwa itu, penyerangan tersebut berlangsung amat rusuh dan tak terkendali. Karena amukan massa yang begitu meluap menjadikan kerusuhan meluas ke beberapa wilayah di Ibu Kota seperti di kawasan Menteng seperti Jalan Diponegoro, Salemba, hingga Kramat.
Sejumlah kendaraan dan gedung dibakar oleh massa yang merusuh. Korban-korban pun berjatuhan. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) atas peristiwa tersebut, terdapat 5 orang tewas, 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang.
Gelapnya kasus yang sudah berjalan selama 25 tahun membuat politikus PDI Perjuangan Dwi Ria Latifah resah. Dia meminta Komnas HAM memiliki keberanian untuk menguak misteri kerusuhan tersebut.
"Komnas HAM diharapkan punya keberanian untuk mengungkap persoalan ini. Tak cukup tabur bunga tiap tahun. Yang tak efektif untuk menyelesaikan kasus ini," kata Ria dalam diskusi Forum Jas Merah bertema "Huru-Hara di Penghujung ORBA: Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996", dikutip dari Kompas.com.
Ria menilai, ada upaya penggiringan fakta bahwa dalang peristiwa tersebut adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Penggiringan fakta tersebut tak lain bertujuan memberangus PDI Perjuangan.
Selain itu, Ria mengatakan ada upaya pemberian cap bahwa PDI Perjuangan merupakan partai komunis.
Baca Juga: Hari Ini, Komnas HAM Bakal Periksa Kepala BKN Terkait Kejanggalan TWK Pegawai KPK
"Menanglah dengan cara tidak mengadu domba rakyat. Menanglah dengan cara sehat dengan menjaga persatuan Indonesia. Salah tempat bermain dengan isu-isu itu."
Sementara itu, pada 2016, Ketua Komnas HAM M Imdadun Rahmat menilai terjadi enam bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa kudatuli, yaitu pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Ia menyebut, dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM itu, bukanlah perkara mudah. Butuh dukungan politik dari semua pihak agar prosesnya tak terhambat seperti yang terjadi saat ini.
“Semua upaya penuntasan pelanggaran HAM perlu dukungan politik kuat, termasuk penyelesaian peristiwa kudatuli. Tanpa itu, Komnas HAM akan alami kesulitan dalam menuntaskannya,’ kata M Imdadun Rahmat seperti dilansir dari laman komnasham.go.id.
Baca Juga: Sejumlah Baliho Puan Maharani Dirusak, PDIP Tempuh Jalur Hukum
Tak hanya "kudatuli", penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat lainnya juga sangat penting. Untuk itu, dukungan politik dari the ruling party juga penting adanya. Dorongan politik kepada pihak-pihak yang berwenang menjadi sangat berarti di tengah mandeknya proses hukum hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
“Dorongan tersebut bisa berbentuk seruan kepada Kejaksaan Agung untuk lebih serius tindaklanjuti hasil penyelidikan dengan meningkatkannya ke tahap penyidikan,” ujar Imdadun.
Penulis : Fadel Prayoga Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV/Kompas.com