Kritik Keras HNW soal Wacana Presiden Tiga Periode, dari Skenario Darurat Covid-19 hingga Referendum
Politik | 23 Juni 2021, 04:05 WIBHNW: Skenario Memperpanjang Masa Jabatan Presiden dengan Alasan Darurat Covid-19, Inkonstitusional Juga
*Kritik Wacana Referendum Untuk Presiden Tiga Periode, HNW: Itu Juga Inkonstitusional *
Kritik Keras HNW soal Wacana Presiden Tiga Periode, dari Skenario Darurat Covid-19 hingga Referendum
JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid mengkritik keras manuver sejumlah pihak yang ingin menggelar referendum untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Dia menilai bahwa manuver tersebut tidak sejalan dengan aturan konstitusi/hukum dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia saat ini.
“Wacana masa jabatan Presiden tiga periode ini bukan hanya inkonstitusional, tetapi melebar tidak masuk akal dan makin membikin gaduh di tengah makin perlunya bangsa ini mendapatkan ketenteraman agar mempunyai imunitas supaya tak mudah terpapar covid-19 yang makin mengganas," kata HNW, sapaan akrab Hidayat Nur Wahid, dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.TV, Selasa (22/6/2021).
Baca Juga: Mahfud MD Tak Setuju dengan Rencana Jabatan Presiden 3 Periode
HNW mengatakan, wacana penambahan tahun masa jabatan terlihat dari pembentukan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi-Prabowo 2024.
Awalnya, penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode karena alasan darurat Covid-19. Namun hal tersebut mendapat penolakan rakyat karena tak sesuai dengan konstitusi dan nalar publik.
Tak berhenti di situ, lanjut HNW, kini muncul skenario berikutnya dengan cara menggelar referendum. Tujuannya pun sama untuk memuluskan wacana masa jabatan presiden tiga periode.
"Karena itu barangkali mengapa kemudian mereka menggelar wacana skenario berikut yaitu menggelar referendum. Padahal lagi-lagi wacana itu tak sesuai dengan sistem dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia," tegas HNW.
"Karena konstitusi Indonesia, UUD NRI 1945, yang berlaku saat ini dan sistem ketatanegaraan kita memang tidak lagi mengenal legalitas referendum,” sambung politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
HNW menerangkan, dahulu memang Indonesia mengenal aturan referendum untuk mengubah UUD 1945, seperti diatur dalam TAP MPR Nomor IV/1993 tentang Referendum dan UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
Namun, awal era Reformasi, kedua aturan tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan di level yang sama.
Aturan yang mencabut ketentuan soal Referendum adalah TAP MPR No VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, dan UU No 6 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
“Dengan dicabutnya ketentuan legal soal referendum itu sejak tahun 1998/1999, maka saat ini referendum tidak diakui keabsahannya, dan tidak bisa diberlakukan dalam sistem hukum dan ketatanegaraan di Indonesia,” jelasnya.
Baca Juga: Tolak Wacana Jabatan Presiden 3 Periode, Politikus PKB Ini Usung Cak Imin-Anies di Pilpres 2024
HNW juga mengungkapkan bahwa saat ini tidak ada satu pun usulan yang diajukan oleh anggota MPR maupun induk partainya untuk melakukan amandemen konstitusi(UUDNRI 1945) dengan tema apapun.
Sementara MPR juga tidak mempunyai rencana untuk mengamandemen pasal-pasal yang dipolemikkan oleh warga. Seperti soal presiden dipilih oleh MPR bukan oleh rakyat, apalagi memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
"Tidak ada sama sekali. MPR sangat memahami bahwa salah satu esensi tuntutan Reformasi adalah amandemen terhadap UUD 1945 untuk memberikan pembatasan masa jabatan presiden," ungkap HNW.
Menurut HNW, hal tersebut agar tak terulang otoritarianisme akibat berkepanjangannya seseorang menjabat sebagai presiden.
"Karena itulah MPR konsisten dengan spirit Reformasi itu, karenanya MPR tidak mengagendakan amandemen pasal masa Jabatan presiden. MPR bahkan tegas menolak berbagai manuver inkonstitusional terkait perpanjangan masa jabatan Presiden” tegas.
Apalagi, lanjut HNW, DPR dan Presiden Jokowi (Pemerintah) pada 2017 telah sepakat untuk menegaskan masa jabatan presiden hanya dua periode saja.
“Ini sebagai penegasan kembali ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 yang membatasi masa jabatan presiden hanya 2 periode masa jabatan,” imbuh Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu.
HNW menambahkan, pada 9 Maret 2021, DPR dan Pemerintah (Menkumham) juga sudah sepakat untuk tidak merevisi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sehingga Pemilu 2024, termasuk Pilpres, tetap akan mengacu kepada UU Pemilu yang disepakati pada tahun 2017 yang menegaskan calon presiden yang dimajukan dalam Pilpres 2024 belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama 2 periode.
"Yang artinya masa jabatan Presiden memang hanya 2 periode saja dan tidak memungkinkan tokoh yang sudah menjabat sebagai Presiden selama 2 periode seperti SBY dan Jokowi untuk maju/dimajukan lagi sebagai calon Presiden," terang HNW.
Baca Juga: PDIP Tolak Wacana Jabatan Presiden 3 Periode: Kami Tidak Ingin Konstitusi Diubah
Dia mengimbau, di tengah pandemi Covid-19 yang makin mengganas, mestinya semua pihak tidak bermanuver yang menambah kegaduhan dan kegelisahan publik.
Seperti manuver soal perpanjangan masa jabatan presiden karena Covid-19 maupun melalui referendum, yang semuanya inkonstituional.
"Mestinya semua pihak justru legowo, menaati aturan hukum dan konstitusi, sehingga manuvernya menenteramkan rakyat, serta berpartisipasi menghadirkan solusi untuk selamatkan bangsa dan negara dari Covid-19 yang makin mengganas,” pungkasnya.
Penulis : Fadhilah
Sumber : Kompas TV