Wamenkumham Eddy Hiariej: Draf RKUHP Terbaru Belum Dipublikasikan ke Publik Karena Alasan Politik
Hukum | 22 Juni 2021, 20:38 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru belum dipublikasikan ke publik.
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej saat menerima Prosiding Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021 secara daring, Selasa (22/6/2021).
"Saya mau menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada seluruh rekan-rekan karena sosialisasi yang dilakukan di 12 kota, memang kami tidak pernah menyerahkan draf terakhir. Kenapa kami tidak pernah menyerahkan draf terakhir, karena ini lebih pada alasan politis dan bukan alasan akademik," kata Eddy.
Menurut Eddy, draf RKUHP yang digunakan dalam kegiatan sosialisasi di 12 kota sejak Mei lalu pun, masih menggunakan RKUHP hasil penyusunan pada 2019.
Baca Juga: RKUHP Masuk RUU Prioritas 2021, Penghinaan Presiden Masuk Delik Aduan
Namun pihaknya menjamin draf yang juga sudah tersebar ke publik tersebut batal disahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Selain karena menuai kontroversi, beberapa pasal pun ada yang dihapus. Alasan penghapusan karena dinilai over kriminalisasi.
"Ada pasal-pasal yang memang kami drop berdasarkan masukan teman-teman karena dianggap itu over kriminalisasi lalu kami drop. Ada pasal-pasal yang diformulasi ulang, diformulasi ulang itu tentunya berdasarkan masukan teman-teman," terangnya.
Adapun terkait alasan belum juga dipublikasikan padahal akan direncanakan masuk RUU Prioritas 2020, pihaknya menyebut karena alasan politik.
Artinya, jika draf tersebut belum disetujui DPR RI, tetapi sudah dipublikasikan ke masyarakat, sama dengan melanggar tata tertib DPR RI.
"Jadi kalau itu disosialisasikan ini alasan politik kami dianggap melanggar Tata Tertib DPR RI, karena seharusnya setiap rancangan yang dikonsultasikan ke publik itu mendapat persetujuan DPR RI," tambahnya.
Sebelum nantinya disahkan, Eddy menyatakan perubahan yang dilakukan sudah sesuai dengan masukan dari koalisi masyarakat sipil.
Baca Juga: Pengamat: Ada 4 Pasal di RKUHP yang Berpotensi Melahirkan Kesewenang-wenangan
Diberitakan sebelumnya, RKUHP batal disahkan lantaran sempat mendapat banyak penolakan dari masyarakat pada 2019 lalu.
Kini, RKUHP kembali muncul ke permukaan pada 2021 dan dapat diakses oleh publik.
Kehadiran draf tersebut membuat sejumlah pihak masih menyoroti pasal-pasal yang dianggap kontroversial.
Termasuk salah satunya mengenai pasal penghinaan terhadap presiden.
Pada persoalan itu, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menanggapi bahwa pasal penghinaan presiden tersebut dalam RKUHP bersifat delik aduan.
Artinya, hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.
Selain itu, draf RKUHP juga menjelaskan bahwa kritik terhadap pemerintah tidak dapat dikenakan hukuman pidana.
Dilansir dari draf RKUHP versi 15 September 2019, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam RKUHP.
Pasal tersebut berbunyi, penghinaan lewat media sosial akan dijatuhi hukuman penjara 4 tahun 6 bulan. Jika penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden, hukuman pidana maksimalnya 3,5 tahun penjara.
Baca Juga: Wamenkumham: Sebagus Apapun UU, Tetap Bisa Multitafsir - ROSI
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV