> >

Kesaksian Pegawai KPK: Tes ASN Ditanya Kesiapan Jadi Istri Kedua dan yang Dilakukan Saat Pacaran

Hukum | 7 Mei 2021, 20:42 WIB
Ilustrasi KPK. (Sumber: TOTO SIHONO)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Gerak Perempuan dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) mengecam keras pelaksanaan tes alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Mereka beralasan, tes tersebut diwarnai pertanyaan tidak etis bernuansa seksis, mengandung bias agama, bias rasisme, dan diskriminatif.

Hal tersebut disampaikan Prilly mewakili Aliansi Gerak Perempuan dan KOMPAKS melalui keterangan tertulis, Jumat (7/5/2021).

“Pertanyaan yang seksis dan bermuatan pelecehan, pertanyaan terkait status perkawinan,” sebut Prilly.

Baca Juga: KPK Jadwalkan Ulang Pemeriksaan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, Ini Alasannya

“Dalam tes wawancara, seorang pegawai KPK ditanyai mengenai statusnya yang belum menikah. Dari informasi yang kami dapatkan, salah satu pegawai KPK harus menghabiskan waktu 30 menitnya untuk menjawab pertanyaan seperti ini,” tambah Prilly.

Selain itu, dalam tes alih status pegawai KPK menjadi ASN ada juga pertanyaan soal hasrat seksual.

“Pertanyaan mengenai status perkawinan ada yang dilanjutkan dengan pertanyaan seksis 'masih ada hasrat apa enggak?'," ujarnya.

Dari sekian contoh, sambung Prilly, ada juga pertanyaan terkait kesediaan menjadi istri kedua. Hingga, pertanyaan tentang apa yang dilakukan jika sedang pacaran.

Prilly menilai pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada kaitannya dengan tugas, peran, dan tanggung jawab seorang pegawai KPK dan tidak layak ditanyakan dalam sesi wawancara.

“Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan yang bernuansa seksis karena didasari oleh anggapan yang menempatkan perempuan sebatas pada fungsi dan peran organ reproduksinya dan sangat menghakimi privasi dari pegawai KPK tersebut,” ujarnya.

Baca Juga: Pakar Hukum Sebut Pemerintahan Presiden Jokowi Tak Bisa Selamatkan KPK

“Pertanyaan dan pernyataan yang seksis ini juga menunjukkan buruknya perspektif gender dari aparatur negara,” lanjutnya.

Dalam pengusutan yang dilakukan, Prilly mengatakan ada juga pertanyaan terkait kehidupan menjalankan ajaran agama atau seputar beragama. Padahal, agama merupakan hak setiap warga negara dan privasi seseorang yang seharusnya tidak menjadi pertanyaan dalam seleksi pekerjaan.

“Seharusnya seleksi pekerjaan bersifat profesional dan sebisa mungkin terbebas dari berbagai bias pribadi si pewawancara, salah satunya bias agama,” ujarnya.

“Pertanyaan seperti 'Islamnya Islam apa?' dan 'Bagaimana kalau anaknya nikah beda agama?' tidak ada kaitannya dengan tujuan tes maupun pada kinerja dan tanggung jawab kerja,” lanjutnya.

Tak hanya itu, Prilly mengatakan tes ini juga diisi dengan pernyataan rasis. Yakni, meminta para pegawai KPK menyampaikan pendapatnya untuk pernyataan seperti "Semua orang China sama saja" atau "Semua orang Jepang kejam".

Baca Juga: Setelah Putusan MK, Penyidik KPK Tidak Lagi Izin ke Dewas Soal Penyadapan

“Sulit membayangkan penilaian yang dilakukan berdasarkan pertanyaan dari tes seperti ini. Apalagi pilihannya hanya dipaksa untuk menjawab sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, atau sangat tidak setuju,” kata Prilly.

“Koruptor bisa datang dari semua ras tanpa terkecuali karena orang bertindak korup bukan karena rasnya,” tutup Prilly.

 

Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU