Terbukti, Setelah UU KPK Direvisi: Muncul SP3 dan Oknum Penyidik Diduga Lakukan Pemerasan
Hukum | 23 April 2021, 15:29 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Kasus dugaan pemerasan oknum penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Walikota Tanjung Balai menjadi bukti buruknya sistem di komisi anti rasuah ini.
Buruknya sistem merupakan dampak dari revisi terhadap Undang-Undang KPK.
Hal itu sebagaimana diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam sebuah diskusi jelang putusan Mahkamah Konstitusi terkait revisi UU KPK.
Diskusi secara daring yang diselenggarakan oleh Indonesian Coruption Watch itu berlangsung pada Jumat (23/4/2021).
Baca Juga: Profil Stepanus Robin Pattuju, Penyidik KPK yang Diduga Peras Wali Kota Tanjungbalai
“Kalau sistemnya buruk, dia tidak hanya akan mendiamkan bad apple (oknum) itu, tapi dia kan bisa melahirkan banyak oknum lainnya dan menurut saya yang terjadi pasca revisi undang-undang KPK adalah dan salah satunya,” ujar Bivitri Susanti.
Bivitri menjelaskan, sejumlah kasus yang merupakan akibat buruknya sistem di KPK.
Dia mencotohkan, kasus hilangnya barang bukti berupa emas seberat 1,9 kilogram yang terugkap beberapa waktu lalu.
Kemudian keputusan KPK menghentikan penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsum Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.
Kemudian yang terbaru adalah dugaan pemerasan oknum penyidik terhadap Walikota Tanjung Balai.
Baca Juga: Penyidik KPK yang Terima Uang Suap Walikota Tanjungbalai Resmi Ditahan
Kasus-kasus tersebut merupakan cerminan buruknya sistem pasca revisi Undang-Undang KPK.
Dalam kasus Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul Nursalim misalnya, Revisi UU KPK telah memungkinkan KPK menerbitkan SP3 sehingga Sjamsul dan Itjih dapat lolos dari jerat kasus BLBI.
Padahal dulu, penerbitan SP3 oleh KPK tidak diperbolehkan.
Menurutnya Alasan KPK tidak boleh menebitkan SP3 bukan asal-asalan, tetapi berdasarkan penelitian yang mengungkap ternyata SP3 biasa dipakai untuk melakukan jual beli perkara.
Baca Juga: Firli Bahuri Minta Maaf atas Tindakan Penyidik KPK Terkait Kasus Suap Wali Kota Tanjungbalai
“Jadi kalau kita bisa beli surat perintah itu, maka artinya kasusnya berat, maksudnya berhenti menguap begitu saja,” tutur Bivitri.
Jual beli untuk menghentikan perkara itu juga diduga dilakukan oknum penyidik yang sedang diusut oleh KPK.
Oknum penyidik diduga meminta uang sebesar Rp 1,5 miliar ke Walikota Tanjung Balai H M Syahrizal.
Sebagai imbalannya, oknum KPK menjanjikan untuk menghentikan penyelidikan kasus suap yang menjerat HM Syahrizal.
Penulis : Vidi Batlolone Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV