Label Teroris bagi Kelompok Separatis Papua, Kontras: Gagal Paham Akar Konflik, Perburuk Situasi
Sosial | 9 April 2021, 10:45 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengkritik wacana melabeli kelompok separatis di Papua sebagai organisasi teroris. Mereka menilai rencana tersebut akan memperburuk masalah dan konflik.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti menganggap, label teroris hanya menunjukkan pendekatan militeristik oleh pemerintah untuk menghadapi konflik di Papua. Ini adalah kegagalan memahami konflik.
"Pemerintah tidak hanya gagal dalam memahami akar konflik Papua yang sebenarnya, tapi juga membuka jalan bagi penggunaan pendekatan keamanan (militeristik) dalam penyelesaiannya," kata Fatia dalam keterangan tertulis, Kamis (9/4/2021), dikutip dari Kompas.com.
Baca Juga: KPK Temukan Pelanggaran Izin Kebun Sawit di Papua Sebabkan Hutan Gundul dan Konflik Ekonomi
Ia berpendapat, wacana pelabelan teroris adalah langkah terburu-buru. Hal ini menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang yang makin memperburuk situasi.
“Kami melihat wacana tersebut hanya menjadi celah bagi negara untuk melegitimasi langkah TNI dalam keamanan domestik melalui UU Terorisme yang berakibat pada makin buruknya situasi di Papua,” ujar Fatia.
Tak hanya itu, label teroris juga bakal berdampak pada kondisi psiko-sosial masyarakat Papua secara umum. Fatia mengungkapkan dugaan, label serupa juga bisa menyasar warga Papua yang berada di perantauan.
Fatia mengingatkan, pemerintah mestinya belajar dari peristiwa sebelumnya di Yogyakarta dan Surabaya pada 2019.
Saat itu, para penghuni asrama mahasiswa asal Papua mengalami intimidasi terkait ras. Masyarakat di Papua pun marah menyaksikan hal itu dan sempat terjadi kericuhan.
Menurut Fatia, wacana memberi label kelompok separatis Papua sebagai organisasi teroris akan membuat situasi di Papua semakin memburuk.
Gagasan label teroris bagi separatis Papua salah satunya mengemuka dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar pada rapat Komisi III DPR pada Senin (22/3/2021).
“Kami sedang terus gagas diskusi dengan beberapa kementerian dan lembaga berkaitan dengan masalah nomenklatur KKB untuk kemungkinannya apakah ini bisa dikategorikan sebagai organisasi terorisme,” ujar Boy.
Baca Juga: BNPT: 5 Provinsi Jadi Prioritas Penanganan Terorisme
Boy menyejajarkan kelompok separatis Papua dengan teroris karena aksi mereka menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan. Menurut Boy, hal ini menimbulkan ketakutan luas di tengah masyarakat.
"Kondisi-kondisi riil di lapangan sebenarnya dapat dikatakan telah melakukan aksi-aksi teror," ujar Boy.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta BNPT tak buru-buru menetapkan KKB sebagai organisasi teroris.
"Saya rasa jangan gegabah dalam melihat dan menilai kondisi di Papua," ujar Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al-Rahab, Selasa (23/3/2021).
Amir mengingatkan agar penyelesaian konflik di Papua berjalan dengan kajian mendalam dan tepat.
"Kajian yang lebih dalam dan serius harus dilakukan, ruang-ruang komunikasi harus dibuka dengan melibatkan banyak pihak. Jadi jangan terlalu emosional," katanya.
Indonesia sebelumnya juga pernah menghadapi kelompok separatis di Aceh lewat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM berdiri pada 1976 lalu.
Perlawanan GAM berakhir setelah tercapai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia lewat jalan damai. GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian Helsinki pada 2005 silam.
Baca Juga: Apa Itu Nasionalisme Vaksin yang Ditolak Presiden Jokowi?
Dengan perjanjian itu, GAM berubah menjadi partai lokal di wilayah dengan otonomi khusus.
Kepala staff Angkatan Darat Kerajaan Thailand Jenderal Apirat Kongsompong pernah menyatakan kekaguman akan penyelesaian konflik GAM itu.
“Kami ingin belajar dari Aceh, bagaimana Aceh menjadi provinsi yang damai sekarang setelah 30 tahun berkonflik dan dihantam tsunami. Saya melihat sendiri, warga Aceh tampak bahagia dan menghargai satu sama lain. Jadi apa yang membuat damai?" ujar Apirat pada Selasa (14/1/2021), dilansir dari BBC.
Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV