> >

Anak Buah Edhy Prabowo Akui KKP Dapat Jatah Rp 1.500 per Ekor Benih Lobster yang Diekspor

Hukum | 25 Februari 2021, 06:35 WIB
Mantan menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengenakan rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (25/11/2020). (Sumber: Tribunnews/Irwan Rismawan)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) rupanya mendapat bagian Rp 1.500 per ekor benih lobster yang diekspor. Hal tersebut berdasarkan pengakuan mantan staf khusus Edhy Prabowo, Safri.

Pengakuan Safri ini dikatakan saat menjadi saksi untuk terdakwa Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito dalam kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Safri mengungkapkan bahwa KKP mendapat Rp 1.500 dan PT ACK mendapat Rp 300 dari biaya ekspor Rp 1.800 per ekor.

Baca Juga: KPK Sita Villa Edhy Prabowo Hasil Korupsi Benih Lobster

"Keterangan ini benar?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Siswhandono, di Pengadilan Tipikor Jakarta, dikutip dari Kompas.com, Rabu (24/2/2021).

"Saya tidak ingat, tapi kalau keterangan BAP saya tetap," jawab Safri.

Jaksa kemudian bertanya kenapa KKP mendapat bagian Rp 1.500 serta siapa saja yang menerimanya.

Namun, Safri mengaku tidak ingat karena ia hanya mendapat informasi dari Andreau Misanta Pribadi, staf khusus Edhy.

Dalam surat dakwaan, diketahui Andreau Misanta Pribadi merupakan ketua Tim Uji Tuntas (due diligence) terkait ekspor benih lobster. Sementara Safri sebagai wakil.

"Bagian-bagian itu saya tahu dari Andreau dan dia tidak menjelaskan tapi persetujuan bahwa eksportir sudah setuju dengan menggunakan PT ACK," ujar Safri.

PT ACK atau PT Aero Citra Kargo merupakan satu-satunya perusahaan kargo yang ditunjuk untuk mengekspor benih bening lobster (BBL).

Baca Juga: Direktur PT DPPP Didakwa Memberi Suap Edhy Prabowo Buat Percepat Izin Ekspor Benih Lobster

Mengacu pada dakwaan JPU, disebutkan bahwa Edhy, melalui Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Menteri KP, mengubah akta perusahaan dengan memasukkan nama Nursan dan Amri sebagai representasi Edhy dalam PT ACK.

Nursan meninggal dunia sehingga namanya diganti dengan Achmad Bachtiar yang juga masih merupakan representasi Edhy di perusahaan tersebut.

Menurut jaksa, mantan menteri KKP itu meminjam nama orang dekatnya untuk dijadikan pemegang saham di PT ACK. Padahal, uang yang mengalir ke nama orang dekatnya tersebut dinikmati oleh Edhy.

Dalam kasus ini, Suharjito didakwa memberi suap kepada Edhy Prabowo dengan total nilai sebesar 103.000 dollar Amerika Serikat dan Rp 706 juta. Suap diberikan melalui sejumlah perantara secara bertahap.

Suap itu diberikan agar Edhy mempercepat pemberian izin budidaya dan ekspor benih lobster kepada perusahaan Suharjito.

Suharjito didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Baca Juga: Edhy Prabowo: Saya Tidak akan Lari, Jangankan Dihukum Mati, Lebih dari Itu Saya Siap

 

Penulis : Fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU