Kementerian PPPA Minta Kejati NTB dan Hakim PN Praya Tak Abaikan Hak Asuh Anak di Kasus Pabrik Rokok
Hukum | 22 Februari 2021, 13:53 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) minta Kejaksaan Tinggi NTB dan Hakim PN Praya tidak mengabaikan hak asuh anak dalam kasus pelemparan pabrik tembakau di Lombok.
Seperti diketahui, dua dari empat tersangka perusakan pabrik tembakau di Lombok adalah ibu rumah tangga yang masih memiliki balita.
“Kami koordinasikan dengan pihak-pihak terkait agar memastikan hak asuh anak tidak diabaikan dalam proses hukum ini,” kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar, seperti dikutip dari Kompas.com, Senin (22/2/2021).
Baca Juga: Kasus Perusakan Pabrik Rokok, Kejati NTB Bantah Tahan Tersangka IRT dan Balitanya
Nahar menuturkan, saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan Dinas PPPA Provinsi NTB untuk mengusulkan penangguhan penahanan bagi tersangka yang masih memiliki balita. Dinas PPPA, kata Nahar, juga mewakili sikap Gubernur dalam permintaan penangguhan penahanan tersangka yang masih memiliki balita.
“Usulan penangguhan penahanan dari Dinas PPPA Provinsi NTB dan Dinas PPPA Kabupaten Lombok Tengah serta dari pihak keluarga,” kata dia.
Sebelumnya di berita Kompas.TV, 4 orang warga Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, ditetapkan sebagai tersangka perusakan pabrik rokok. Keempat tersangka itu adalah, Nurul Hidayah (38), Martini (22), Fatimah (38) dan Hultiah (40).
Baca Juga: Di Lombok, Balita Lumpuh Diduga Akibat Polusi Pabrik Tembakau, Jumenah:Cucu Saya Tak Lagi Bisa Jalan
Cerita bermula dari viral sebuah foto, dimana dua balita terpaksa berada di rumah tahanan karena Ibunya menjadi tersangka perusakan pabrik rokok. Kasus ini kemudian menjadi perbincangan di ruang publik, dan Kejati NTB membantah telah melakukan penahanan terhadap Ibu berserta balitanya.
“Terkait pemberitaan dan foto yang beredar di media sosial bahwa para terdakwa ditahan bersama anaknya oleh pihak Kejaksaan adalah tidak benar,” kata Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB, Dedi Irawan.
Penulis : Ninuk-Cucu-Suwanti
Sumber : Kompas TV