> >

UU ITE Pernah Direvisi pada 2016, Bagaimana Hasilnya?

Berita utama | 16 Februari 2021, 16:17 WIB
Presiden Joko Widodo meminta DPR merevisi UU ITE pada Senin (15/2/2021). UU ITE pernah menerima revisi pada 2016. (Sumber: Youtube Sekretariat Presiden)

Berbagai prosedur pengadilan itu sebelumnya mesti mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.

5. Memperkuat Penyididik PNS

Revisi ini memberi kewenangan tambahan bagi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam Pasal 43 ayat 5. Dengan aturan itu, PPNS dapat membatasi atau memutus akses terkait tindak pidana teknologi informasi. PPNS juga dapat  meminta informasi dari Penyelanggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana tersebut.

6. Memperkuat Peran Pemerintah

Pasal 40 ayat 2 revisi UU ITE memberi kewenangan tambahan bagi pemerintah. Pemerintah kini wajib mencegah penyebaran informasi elektronik terlarang dan berwenang memutus atau memerintahkan Penyelangga Sistem Elektronik untuk memutus akses pada informasi elektronik yang melanggar hukum.

7. Aturan Hak Dilupakan

Aturan ini memperkenalkan konsep “the right to be forgotten” atau hak untuk dilupakan. Hal ini tertuang dalam Pasal 26.

Aturan ini mewajibkan seluruh Penyelanggara Sistem Elektronik untuk menghapus informasi atau dokumen elektronik yang tidak relevan. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik juga wajib menyiapkan mekanisme penghapusan itu.

Baca Juga: Daftar Pasal Karet UU ITE yang Perlu Segera Direvisi Menurut SAFEnet

Namun, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) dan LBH Pers menganggap revisi UU ITE 2016 ini setengah hati melindungi kebebasan berekspresi.

"Dari awal pemerintah memang memiliki banyak kepentingan mengenai penegakan hukum ITE terkait dengan kebebasan ekspresi. Perubahan yang dilakukan terkait UU ITE ini hanyalah melegitimasi kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat Indonesia dikekang dengan menambahkan kewenangan-kewenangan baru pemerintah,” tulis ICJR dan LBH Pers dalam rilis pers pada Kamis (27/10/2016).

ICJR dan LBH Pers menyampaikan lima poin pendapat terkait revisi UU ITE ini. Pertama, mereka meminta pemerintah seharusnya mencabut pasal 27 ayat 3 soal pencemaran nama baik.

LBH Pers dan ICJR menganggap pasal itu adalah pasal karet, multitafsir dan berpotensi disalahgunakan. Pencemaran nama baik juga dianggap sudah diatur dalam KUHP.

Ada juga potensi sensor informasi di media dan kewenangan aparat yang berlebih. Pasal 43 ayat 3 revisi UU ITE 2016 memudahkan penggeledahan dan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 40 juga memberi wewenang tambahan bagi pemerintah untuk memblokir dan memutus akses pada konten informasi dan dokumen elektronik dengan “muatan yang dilarang.

Pasal 26 soal hak dilupakan juga berpotensi menjadi alat sensor berita dan media.

Baca Juga: Aktivis Haris Azhar : Bukan Hanya UU ITE, Kebijakan Pemidanaan Pun Harus Direvisi

“Pasal ini akan menjadi problem baru, ketentuan ini menjadi alat ganda pemerintah di samping adanya kewenangan penapisan konten. Ketentuan ini bisa berakibat negatif karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas berita, berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu," kata ICJR.

Terakhir,  pasal 29 yang mengatur soal perundungan di dunia siber (cyberbullying) juga berpotensi menimbulkan overkriminalisasi.

Penulis : Ahmad-Zuhad

Sumber : Kompas TV


TERBARU