Innalillahi, Ibu Korban Tragedi Semanggi 1 Meninggal Dunia, Ini Sejarah Tragedi Berdarah Orde Baru
Peristiwa | 10 Februari 2021, 21:41 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyampaikan kabar duka meninggalnya Sumartini, ibu almarhum Sigit Prasetyo, korban Tragedi Semanggi 1.
“Esok siang, almarhumah akan dimakamkan di liang yg terisi oleh jasad anaknya sejak November 1998. Duka cita mendalam dari KontraS,” tulis Kontras melalui akun Twitter resmi mereka, Rabu (10/1/2021) malam.
Baca Juga: Terkait Kasus Kekerasan Polisi, Komnas HAM Minta Kapolri Beri Perhatian Khusus
Sumartini meninggal setelah mengalami sakit berat sejak lama.
Sigit Prasetyo adalah mahasiswa Universitas Persada Indonesia YAI. Ia tertembak saat mengikuti demonstrasi menentang Sidang Istimewa MPR 1998 yang mengangkat BJ Habibie menjadi presiden. Ketika itu, Sigit masih berumur 18 tahun.
Mahasiswa saat itu masih melakukan demonstrasi karena menilai Habibie tak berbeda dengan Soeharto atau hanya kepanjangan tangan Orde Baru. Demonstrasi itu juga untuk menolak dwifungsi ABRI.
Demonstrasi berlangsung sejak 11 November 1998. Mahasiswa dan masyarakat mulai melakukan aksi dari Jalan Salemba dan tertahan oleh Pam Swakarsa, kelompok bersenjata bentukan TNI. Kedua kelompok itu bentrok di sekitar kompleks Tugu Proklamasi.
Esoknya, ratusan ribu demonstran kembali melakukan aksi menuju Gedung DPR/MPR. Namun, demonstran tak dapat mencapai gedung DPR karena kawalan ketat aparat.
Malam tanggal 12 November 1998 bentrokan kembali terjadi. Bentrokan itu menyebabkan seorang pelajar bernama Lukman Firdaus luka berat hingga meninggal dunia.
Baca Juga: Suaminya Ditembak di Kepala dari Jarak Dekat, Istri Lapor Komnas HAM Minta Keadilan
Demonstran masih melakukan aksi pada 13 November 1998. Namun, mahasiswa dan masyarakat yang berunjuk rasa terkepung di Jalan Sudirman, Semanggi.
Aparat mengepung demonstran dari dua arah dengan kendaraan lapis baja. Aparat juga menembaki mahasiswa.
Sigit Prasetyo tewas karena tembakan aparat bersama 16 orang lainnya.
Bapak Sigit, Asih Widodo saat itu mengaku sudah mendapat firasat buruk. Ia mendapat kabar pada maghrib hari itu dari seorang pekerja Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) bahwa Sigit dirawat di sana.
Mengutip tirto.id, ia sampai di RSCM pukul 22.15 karena mesti berjalan kaki melewati area unjuk rasa. Ternyata, Sumartini sudah sampai terlebih dahulu.
Sejumlah mahasiswa memandu Asih menuju kamar mayat. Asih menemukan puteranya mengenakan jas almamater dengan lubang kecil hitam di dada, di area jantung.
Asih memeluk jasad Sigit sambil menangis, lalu memandikannya.
Setelah itu, Asih bersama keluarga korban-korban pelanggaran HAM lainnya menuntut pemerintah. Ia bahkan sempat dipukul popor tentara dalam sebuah demonstrasi sekitar setahun kematian anaknya.
Namun, sampai Sumartini meninggal, kasus Tragedi Semanggi 1 belum menemui kejelasan.
Terakhir, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan, Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat.
Baca Juga: KASUM Desak Komnas HAM Tetapkan Kasus Munir Sebagai Pelanggaran HAM Berat
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan pernyataan Sanitiar sebagai perbuatan melawan hukum pada 4 November 2020. Namun, Kejaksaan Agung masih mengajukan banding.
Penulis : Ahmad-Zuhad
Sumber : Kompas TV