Fraksi DPR Terbelah Soal Aturan Pilkada Serentak RUU Pemilu, Ini Pandangan Masing-Masing Fraksi
Politik | 1 Februari 2021, 21:15 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Fraksi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berbeda pendapat terkait Draf sementara Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan (Umum).
Masyarakat mencermati pembicaraan terkait RUU Pemilu ini berkaitan dengan syarat pencalonan peserta pilkada, pilpres, dan pileg. Isu ambang batas pencalonan pilpres (Presidential Threshold) dan larangan eks anggota HTI menjadi topik yang ramai diperbincangkan.
Namun, sembilan fraksi parpol di DPR juga menyoroti isu pilkada serentak. Sesuai amanat Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, Pilkada mestinya digelar serentak pada November 2024.
Sebagian fraksi ingin Pilkada berjalan sesuai aturan itu. Namun, ada pula fraksi lain yang mendorong Pilkada terselenggara pada 2022 dan 2023 sesuai isi draf revisi UU Pemilu Pasal 731 ayat 2 dan 3.
Baca Juga: Tegang! Menkes Ditegur Oleh Komisi IX DPR RI Terkait Keseriusan Tangani Covid-19
Lalu, seperti apa peta politik terkait RUU Pemilu ini?
PAN dan PPP
PAN dan PPP sama-sama menolak keras pembahasan seluruh RUU pemilu.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan, peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini baru resmi diundangkan. Zulkifli menilai belum waktunya revisi UU Pemilu.
Menurutnya, aturan ini dapat disempurnakan lewat aturan turunannya.
"Sejauh ini penyelenggaraan pemilu yang dilakukan dengan payung hukum UU ini berjalan cukup baik. Meskipun tentu ada hal-hal yang perlu disempurnakan di dalam aturan turunannya," tulis Zulkifli dalam rilis resmi, Senin (25/1/2021).
Senada dengan itu, Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa juga menilai revisi UU Pemilu ini relatif cepat. Menurut Suharso, hal itu akan menghambat pematangan demokrasi.
Baca Juga: Draf RUU Pemilu Larang Mantan HTI Ikut Pemilu, Seperti PKI
“Tergerus dengan perubahan Undang-Undang Pemilu. Diperlukan kemantapan demokrasi prosedural agar demokrasi substansial memperoleh kesempatan berkinerja," ujar Suharso pada Selasa (27/1/2021), dikutip dari Kompas.com.
PDIP, PKB dan Gerindra
Tiga parpol paling kuat di Senayan sepakat aturan soal Pilkada tak perlu diubah dalam RUU Pemilu. Ketiganya sepakat Pilkada berjalan serentak pada 2024 sesuai UU Pilkada.
Ketua DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat mengatakan, Pilkada serentak selama ini cenderung belum sempurna dari segi pelaksanaan, bukan substansi peraturan perundangan-undangan.
“Atas dasar hal tersebut, sebaiknya Pilkada Serentak tetap diadakan pada tahun 2024. Hal ini sesuai dengan desain konsolidasi pemerintahan pusat dan daerah," tulis Djarot dalam rilis resmi, Kamis (28/1/2021).
Djarot juga menyangkal, sikap itu untuk menjegal langkah politik elektroral Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan kepala daerah lainnya.
Baca Juga: Draf RUU Pemilu, Caleg Hingga Capres Minimal Lulus Perguruan Tinggi
DKI Jakarta akan mengadakan Pilkada pada 2022 bila RUU Pemilu sah sesuai isi draf sementara saat ini.
Namun, bila Pilkada berjalan serentak pada 2024, Anies Baswedan akan turun dari jabatan kepala daerah pada 2022. Seluruh kepala daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023 sebelum Pilkada serentak akan diisi pejabat sementara.
“Jelas tidak benar (menghambat panggung politik Anies Baswedan). Tidak terkait dengan pak Anies Baswedan juga gubernur-gubernur yang lain seperti Jabar, Jatim, Jateng dan seterusnya, UU-nya juga diputuskan di tahun 2016 atau sebelum Pilgub DKI," kata Djarot.
Sementara, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Luqman Hakim menyatakan, Pilkada harus berjalan serentak pada 2024.
Hal itu agar memberi waktu hingga Indonesia bisa menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya.
“Dengan skema Pilkada serentak 2024, situasi politik nasional akan lebih kondusif dan anggaran negara dapat difokuskan untuk memulihkan ekonomi, mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang melonjak akibat pandemi Covid-19," kata Luqman.
Baca Juga: Jokowi Anggap PPKM Tak Berjalan Efektif, Wakil Ketua DPR: Pemerintah Harus Waspadai Libur Panjang
Demokrat, PKS, Nasdem dan Golkar
Empat partai itu memiliki sikap berbeda dengan mendorong Pilkada terselenggara pada 2022 dan 2023.
Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menyatakan kekhawatiran terkait perhatian pemerintah yang lebih banyak fokus pada Pilpres.
“Bagaimanapun, Pilpres memiliki daya magnet yang luar biasa. Keserentakan pilpres dan pileg di 2019 lalu, memberikan contoh nyata bagaimana pileg tenggelam di tengah hiruk pikuk pilpres. Begitu juga kemungkinan nasib Pilkada," kata Herzaky.
Meski begitu, Herzaky menghormati apa pun kesepakatan DPR dan pemerintah terkait RUU Pemilu.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera menyoroti keperluan adanya kepala daerah tetap di masa krisis.
Baca Juga: Video Pemuda Bakar Bendera Merah Putih Viral, Komisi I DPR: Wajib Diproses Secara Hukum!
"Justru di masa krisis diperlukan kepala daerah definitif hingga bisa menjadi nahkoda utama mengawal krisis,” kata Mardani.
Sekretaris Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin juga menyatakan dukungannya pada Pilkada 2022 dan 2022. Keduanya memiliki alasan berbeda.
Saan menyebut, pemilu serentak akan sangat membebani kerja penyelanggara. Hal ini mengingat meninggalnya 400 panitia pemilu 2019 karena kelelahan dan sakit saat bertugas.
Sementara, Nurul menyoroti pembengkakan anggaran yang dapat terjadi karena pemilu serentak. Ia juga optimis pilkada dapat terselenggara pada tahun 2022 karena vaksinasi Covid-19 telah berjalan.
Penulis : Ahmad-Zuhad
Sumber : Kompas TV