> >

Kematian 6 Laskar FPI Dibawa ke Pengadilan Internasional, Ini Kata Komnas HAM

Hukum | 26 Januari 2021, 11:59 WIB
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik di Kantor Kemenko-Polhukam, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2019). (Sumber: (KOMPAS.com/Dian Erika ))

JAKARTA, KOMPAS.TV- Kematian 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI) akhrinya dibawa ke pengadilan internasional. Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pun tak yakin laporan kasus itu ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, bakal sampai tahap pengadilan.

Pasalnya, Indonesia bukan sebagai sebuah negara anggota Mahkamah Internasional karena belum meratifikasi Statuta Roma.

“Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan negara anggota (state party)," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Selasa (26/1/2021).

Baca Juga: PPATK Deteksi Ada Transaksi Keuangan Lintas Negara di Rekening FPI, Ini Kata Kuasa Hukum

Taufan Damanik menjelaskan, Mahkamah Internasional lahir sebagai complementary untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma. Mahkamah Internasional pun bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara.

“Dengan demikian, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi unable dan unwilling,” tegas dia.
Sesuai Pasal 17 Ayat (3) Statuta Roma, jelas Taufan, kondisi "unable" atau dianggap tidak mampu adalah suatu kondisi di mana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional secara menyeluruh ataupun sebagian.

Baca Juga: Soal Aliran Dana Rekening FPI, Yunus Husein: PPATK Biasanya Akan Selidiki Sumber Dana

Akibat kegagalan tersebut, sistem peradilan di negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.

Sementara, "unwilling" atau kondisi tidak bersungguh-sungguh, menurut Pasal 17 Ayat (2) Statuta Roma, adalah kondisi bila negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.

“Jadi, sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat tadi mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu, Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan,” papar Taufan Damanik.

Penulis : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU