Tak Hanya Cipta Kerja, Ini 3 UU Kontroversial yang Disahkan Era Jokowi
Politik | 6 Oktober 2020, 09:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - DPR dan Pemerintah akhirnya mengesahkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
Pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja ini diketok di tengah banyaknya kritikan dan sorotan berbagai pihak.
Dari sembilan fraksi di DPR RI, sebanyak tujuh di antaranya menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja. Sementara hanya dua fraksi yang menolak pengesahan itu, yaitu fraksi PKS dan Partai Demokrat.
Baca Juga: Berikut Poin-Poin Penting Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Jadi Kontroversi
Sejak pembahasan, RUU Cipta Kerja telah menuai sejumlah kontroversi.
Di antara deretan poin kontrovesi adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Ini dinilai membuat upah pekerja menjadi lebih rendah.
Selain itu, poin-poin lainnya yang mendapat banyak sorotan adalah para pekerja kini berpotensi menjadi pekerja kontrak seumur hidup dan rentan PHK, serta jam istrihat yang lebih sedikit.
Pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja ini tentu menambah daftar UU kontroversial era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan catatan Kompas.com, setidaknya ada tiga UU kontroversial di era pemerintahan Jokowi.
Baca Juga: Detik-Detik Fraksi Demokrat Walk Out dari Rapat Paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja
Berikut 3 UU kontroversial era Jokowi:
UU KPK
Kontroversi pertama dimulai beberapa minggu sebelum Jokowi dilantik untuk periode keduanya, yaitu ketika revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disahkan pada 17 September 2019.
Tak ada satu pun partai di yang duduk di kursi wakil rakyat menolak pengesahan revisi UU KPK ini.
Pengesahan revisi UU KPK ini pun memantik aksi protes dan demo besar di sejumlah daerah.
Mereka menilai revisi tersebut berpotensi melemahkan KPK yang selama ini berada di garda depan dalam pemberantasan korupsi.
Sejumlah poin kontroversi dalam revisi UU KPK adalah sebagai berikut:
Pertama, kedudukan KPK berada pada cabang eksekutif. Padahal status KPK sebelumnya merupakan lembaga ad hoc independen.
Perubahan kedudukan menjadi lembaga pemerintah itu berdampak pada status kepegawaian KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Kedua, pembentukan Dewan Pengawas KPK yang tertuang dalam tujuh pasal khusus, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G.
Selain mengawasi tugas dan wewenang KPK, Dewan Pengawas juga berwenang dalam beberapa hal, di antaranya, memberikan izin atau tidak dalam penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV