> >

Seperti Apa Nuansa Puasa Ramadan di Zaman Kolonial Hindia Belanda?

Tren | 21 Maret 2024, 18:05 WIB
Suasana Ramadan zaman kolonial. (Sumber: KOMPAS.ID / ARSIP ACHMAD SUNJAYADI)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Ramadan tentu menjadi bulan istimewa bagi umat muslim di Indonesia. Lalu bagaimana situasi Ramadan masyarakat Indonesia di era kolonial?

Menurut dosen sejarah IAIN Surakarta, Martina Safitry, ketika itu Belanda masih memiliki kontrol terhadap sistem pemerintahan Indonesia. Walau demikian, umat muslim di Indonesia masih diberikan keleluasaan dalam menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan.

Sama seperti masa sekarang, perdebatan mengenai penentuan awal Ramadan juga telah ada sejak dulu kala. Pada masa sekarang, penentuan awal Ramadan ditentukan dengan perhitungan hisab dan rukyat yang dipimpin Kementerian Agama.

Namun, pada masa penjajahan, pihak yang menentukan awal Ramadan adalah Perhimpoenan Penghoelo dan Pegawainya (PPDP) atau lebih dikenal Hoofdbestuur.

Baca Juga: Cyrus Margono Resmi Jadi WNI, Optimistis Tembus Skuad Timnas Indonesia

Meski demikian, ternyata dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) memiliki Hoffbestuur-nya sendiri. Lembaga itu juga memiliki peran besar terhadap penentuan awal Ramadan.

"Kedua belah pihak menentukan perhitungan dengan caranya masing-masing," kata Martina mengawali diskusi bersama Kompas.com kala itu.

Kabar ini juga dipertegas dalam berita yang terekam dalam koran Berita Nahdlatul Ulama (BNO) edisi 1 November 1937 yang memuat maklumat Awal Ramadan 1356 Hijriah.

Selain penetapan melalui mekanisme tersebut, ternyata awal Ramadan juga disambut masyarakat dengan bunyi-bunyian yang sangat keras.

"Jadi dengan meriam, petasan, mercon dan anak-anak bikin menggunakan pelepah pisang. Pokoknya bunyian yang keras-keras untuk menandakan awal Ramadan," ucap Martina. 

Tak hanya ada di Jawa, tradisi seperti ini juga ada di Sumatra, terutama Sumatra Utara yang terdengar tiga kali tembakan meriam menandai awalnya bulan Puasa.

Libur Sekolah

Selain tradisi penentuan awal Ramadan yang dikaitkan dengan bunyi-bunyian keras, ternyata pada masa penjajahan juga telah ada tradisi libur sekolah selama Ramadan.

Pada masa Kolonial Hindia Belanda, ada wacana untuk meliburkan sekolah selama Ramadan. Langkah ini merupakan usulan dari Dr N Adriani selaku Penasihat Urusan Bumiputra.

"Dr Adriani sangat memperhatikan umat Islam ketika itu dan memberi saran kepada Directuur Dienst der Onderwijs, Eeredienst an Nijverheid (Kepala Departemen Pendidikan, Keagamaan dan Kerajinan) untuk meliburkan sekolah-sekolah," ujar Martina.

Kweekschool, sebuah sekolah di Probolinggo tahun 1920-an. (Sumber: Tropenmuseum)

Usulan ini akhirnya disetujui. Sekolah seperti HIS (Holllandsch-Inlandsch School), HBS (Hogere Burger School), AMS (Algemeene Middelbare School), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan lainnya diliburkan karena mayoritas muridnya beragama Islam.

Ketika masa libur, anak-anak menghabiskan aktivitasnya untuk melakukan banyak kegiatan seperti membantu orang tua, memancing ikan, salat di masjid, mengaji, dan lebih banyak fokus terhadap kegiatan keagamaan.

Perayaan Lebaran setelah momentum satu bulan dilaksanakan, tibalah saatnya pada hari yang begitu dinantikan, yaitu salat Idulfitri atau salat Id.

Pemerintah Kolonial baru mengizinkan salat Id berjemaah secara terbuka untuk kali pertama pada 1929.

Sebelumnya, umat muslim melakukan salat hanya di masjid kampung. Belanda masih membatasi ruang lingkup umat Islam, apalagi jika jemaah berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.

Baca Juga: Pakar Hukum soal Gugatan Hasil Pemilu di MK: Alat Bukti Saja Tak Cukup, Harus Ada Keyakinan Hakim

Pihak kolonial takut terhadap gerakan yang bisa memobilisasi massa, karena acara di tempat terbuka rentan mengancam pemerintah saat itu. Baru setelah 1929, Pemerintah Kolonial memberikan kelonggaran kepada umat muslim untuk melaksanakan salat Id berjemaah.

Namun, Pemerintah Hindia Belandalah yang memberikan tempat pelaksanaan salat beserta jumlah jemaah. Ini dilakukan untuk mengawasi agar kegiatan ibadah tak berubah menjadi aksi perlawanan.

"Salat Id dilaksanakan di lapangan terbuka Koningsplein atau Stasiun Gambir, Jakarta Pusat (kala itu masih bernama Batavia)," kata Martina.

Martina juga mengatakan, pada 1939 juga dilaksanakan salat Id bersama di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dengan imam Hadji Muhammad Isa yang saat itu menjabat Ketua Hooft voor Islamietische Zaken (Mahkaman Urusan Agama Islam) dan khatib Hadji Mochtar anggota Hooft voor Islamietische Zaken.

 

 

Penulis : Ade Indra Kusuma Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU