Mempersoalkan Alih Fungsi 20 Juta Hektar Hutan untuk Swasembada Pangan dan Energi
Opini | 7 Januari 2025, 14:30 WIBKOMPAS.TV- Rencana Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk mengubah 20 juta hektar hutan menjadi lahan pertanian dan energi adalah 'kado' mengkhawatirkan di awal tahun pemerintahan Kabinet Merah Putih. Pasalnya, rencana kebijakan ini mengancam keberlanjutan lingkungan, merusak ekosistem yang sudah kritis, dan memarjinalisasi masyarakat adat dari wilayah nenek moyang mereka.
Rencana ini tidak hanya mempercepat penggundulan hutan yang telah menjadi isu serius di Indonesia, tetapi juga menyingkirkan data empiris yang menunjukkan keadaan hutan yang semakin memburuk.
Data Forest Watch Indonesia (2021) menunjukkan, area hutan alami di Indonesia terus menurun: dari 106 juta hektar di 2000 menjadi hanya 82 juta hektar pada 2017.
Baca Juga: JPIK Sebut Banjir Sumbar Dipicu Alih Fungsi Lahan dan Aktivitas Illegal Logging
Deforestasi bukan sekadar angka, melainkan bahaya nyata bagi kehidupan masyarakat terutama masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari hutan yang lestari. Banjir dan kekeringan yang salah satunya disebabkan deforestasi yang massif mengakibatkan jutaan orang menderita.
Menurut data BNPB, sejak 2000, banjir telah terjadi sebanyak 14.545 kali, berdampak pada 33,3 juta jiwa, mengakibatkan lebih dari 23 ribu orang meninggal, dan menyebabkan ribuan lainnya hilang. Di sisi lain, kekeringan telah memengaruhi 17,3 juta orang, termasuk petani yang kehilangan sumber penghidupan mereka.
Berdasarkan survei BPS, jumlah petani gurem (petani yang memiliki tanah di bawah 0,5 hektar hingga tidak memiliki tanah) terus mengalami kenaikan dari 14 juta orang pada 2013 menjadi 16,89 juta jiwa pada 2023.
Ironisnya, penebangan hutan juga berlangsung di wilayah yang seharusnya dilestarikan.
Baca Juga: Harga Komoditas Beras Jadi Persoalan Pelik, Cuaca dan Alih Fungsi Lahan Penyebabnya
Sebanyak 31 taman nasional, 45 cagar alam, dan 26 suaka satwa dilaporkan telah mengalami deforestasi selama tahun 2023. Kondisi ini menggambarkan kurangnya pengawasan dan ketidakseriusan pemerintah dalam merawat area konservasi.
Kebijakan ini terlihat lebih memprioritaskan kepentingan pengusaha besar dan investasi besar, tanpa melibatkan masyarakat lokal, petani dan masyarakat adat yang kehidupannya bergantung pada hutan. Pendekatan ini mencerminkan kecenderungan kebijakan yang lebih memprioritaskan keuntungan ekonomi jangka pendek ketimbang keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV