Lansia dan Ancaman Korban Kejahatan Teknologi
Opini | 25 Desember 2024, 21:30 WIBSemua harus dalam bentuk fisik (hardcopy) yang bisa disimpan dan kasat mata. Tapi masa itu berubah cepat, bahkan sangat cepat.
Rhenald Kasali (2010) menggambarkan perubahan teknologi yang sangat cepat itu sebagai sudden shift, speed and surprise.
Hal ini mengagetkan dan membuat para lansia terkejut. Bagaimana tidak, mereka dahulu terbiasa menggunakan kertas dan pena serta mengarsip dalam bentuk fisik, tapi kini berubah menjadi sentuhan ke layar ponsel.
Ada pula dari mendokumentasikan ke dalam binder arsip, kini berubah wujud ke dalam cloud, email, aplikasi dan sebagainya.
Termasuk transaksi perbankan dari antre di teller, kini berubah menjadi sekali klik di layar ponsel.
Sepintas, hal tersebut lumrah dan mudah dilakukan bagi kaum muda. Tapi tidak untuk para lansia.
Karena mereka harus belajar satu persatu aplikasi yang ada di layar ponsel pintar. Lalu mengulik dan mencari tahu seperti apa sistematika kerja aplikasinya.
Pekerjaan ini menjadi tantangan tersendiri bagi lansia. Terlebih ketika tidak ada yang memberikan tutorial secara langsung atau tatap muka kepada mereka.
Hal itu hanya sebagian kecil kenyataan hidup di dunia internet of things yang dihadapi para lansia.
Lansia Bisa Berdaya
Stigma masyarakat yang menganggap lansia itu individu tidak berdaya dan membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa beraktivitas masih kental di masyarakat Indonesia.
Bahkan termasuk untuk bisa menggunakan teknologi terkini. Pertanyaannya, memberdayakan lansia untuk bisa berdaya sebaiknya mulai dari mana?
Baca Juga: Bermaksud Selamatkan 2 Anak, Lansia 70 Tahun di Sampang Ikut Tenggelam
Para pra lansia dan lansia bisa memulai dengan konsistensi dan disiplin diri mempelajari hal baru dalam teknologi.
Mereka bisa bergiat meliterasikan diri. Misalnya menghadiri pertemuan secara daring maupun tatap muka terkait perkembangan teknologi dan aplikasi, termasuk mempelajari potensi dan ancaman bahaya yang nyata bagi lansia.
Yakni pencurian data pribadi, scam, penipuan, pemerasan, hingga informasi hoaks yang mereka terima atau berpotensi mereka sebarkan.
Bisa juga mereka aktif meng-upgrade keterampilan digital yang mutakhir.
Kemandirian lansia mempelajari dan menguasai keterampilan teknologi digital ini menjadi hal yang tak terelakkan di masa sekarang.
Mau tak mau para lansia selayaknya belajar secara berkelanjutan agar tidak tertinggal perubahan dan kemajuan teknologi yang sangat cepat.
Selain itu, mereka juga bisa mencari informasi terkini non berita melalui akun peramban yang bisa dijangkau, hingga belajar literasi keuangan, dan sosial media dari pakar atau ahli di bidangnya.
Hal ini itu menjadi salah satu cara meningkatkan kapasitas diri mengejar ketertinggalan informasi di dunia teknologi.
Maka, butuh kegigihan lansia mempelajari sekaligus mendapatkan keterampilan baru dari dunia teknologi.
Termasuk mengaktifasi, mencari, dan menciptakan lingkungan yang mendukung mereka mempelajari perkembangan teknologi.
Misalnya mencari teman diskusi yang cocok atau membuka ruang komunikasi untuk belajar dengan generasi di bawahnya.
Tanpa terkecuali aktif bersosialiasi di dua dunia sosial, yaitu dunia nyata dan dunia maya (internet).
Meskipun demikian, boleh jadi tidak semua hal bisa dikuasai. Tidak pula semua keterampilan menggunakan aplikasi bisa dipahami dan dilakukan.
Tetapi, setidaknya para lansia memiliki pengetahuan, keterampilan dan literasi minimal tentang aplikasi yang sering mereka gunakan.
Peran Negara
Dalam konteks perlindungan lansia dari sisi ancaman keamanan diri terhadap teknologi, negara sepertinya belum sepenuhnya hadir.
Baca Juga: Teknologi AI Tidak Bisa Sepenuhnya Menggantikan Peran Jurnalis
Teknologi yang berkembang sangat cepat sukar diikuti oleh pembuatan peraturan perundang-undangan. Salah satu contohnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sampai saat ini UU ITE belum bisa merangkum bagaimana perkembangan kecerdasan buatan (Artifisial Intelligence/AI) dimanfaatkan secara negatif.
Bagaimana jika AI di masa depan dimanfaatkan sebagai “tools” kejahatan utama bagi lansia, atau penggunaan teknologi seperti “deep fake” yang bisa mengubah wajah seseorang dan mengisinya dengan suara buatan untuk menipu atau memperdaya para lansia?
Bahkan sosok seseorang yang sudah meningal dunia pun bisa “dihidupkan” kembali melalui deep fake. Hal ini tentu sangat berbahaya jika lansia tidak memahaminya.
Itulah salah satu tantangan pemerintah membuat aturan undang-undang yang visioner atas perkembangan teknologi.
Terutama dalam konteks melindungi warga negara dan lansia pada khususnya.
Saat ini, negara melalui perangkat institusinya, seperti Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPA) bisa melakukan sejumlah upaya untuk menggencarkan literasi cyber dan teknologi kepada lansia.
Para lansia di masa sekarang, sepatutnya sudah harus mendapatkan pengetahuan dasar, keterampilan dan ancaman-ancaman dunia cyber, dan perkembangan teknologi.
Tujuannya agar mereka menjadi waspada kejahatan cyber, dan teknologi itu nyata mengancam keamanan dan keselamatan diri mereka.
Oleh karena itu, pelatihan dan literasi harus dilakukan secara sporadis, terencana, dan terarah, dengan sasaran para lansia.
Tentu kehadirannya bukan hanya dalam bentuk seminar dan diskusi saja, tetapi juga pelatihan langsung kepada para lansia.
Step by step sebagai “user” aplikasi dan teknologi, hingga bagaimana memahami dan mengimplementasikannya.
Terutama literasi menjaga data pribadi, dan ancaman-ancaman kejahatan cyber.
Upaya memperkuat dasar hukum perlindungan lansia juga harus segera dilakukan dan menjadi perhatian semua pihak.
Agar payung hukum besar perlindungan terhadap lansia ini menjadi salah satu agenda prioritas legislasi.
Harapannya, para lansia di Indonesia bisa menjalani hari tua dengan baik. Para lansia juga mampu memitigasi ancaman dunia cyber lebih awal, termasuk untuk lansia Imran dan Atni. Semoga.
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV