Influencer dan Demokrasi Langsung: Sebuah Kritik
Opini | 5 Agustus 2024, 14:52 WIBOleh: Abie Besman, Jurnalis Senior Kompas TV
Dalam era digital saat ini, peran influencer semakin menonjol dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam politik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sering mengundang influencer untuk terlibat dalam kebijakan dan proyek pemerintahan seperti ajakan sejumlah selebriti untuk mengunjungi Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Langkah ini memicu perdebatan tentang bagaimana fenomena influencer berinteraksi dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Undangan terhadap beberapa influencer terkenal seperti Raffi Ahmad, Nagita Slavina, Atta Halilintar, Gading Marten, Ananda Omesh dan nama-nama lain ke IKN bertujuan untuk meninjau infrastruktur yang sedang dibangun, seperti jalan tol dan Jembatan Pulau Balang.
Langkah ini disambut dengan berbagai reaksi, mulai dari dukungan hingga kritik tajam. Kritik utama datang dari pihak yang melihat keterlibatan influencer sebagai upaya instan untuk memoles citra positif IKN di tengah lambatnya perkembangan proyek tersebut.
Baca Juga: 1.000 Mobil Disewa untuk HUT RI di IKN, Tarif Naik Gila-gilaan: Sewa Alphard Jadi Rp25 Juta Sehari
Keterlibatan influencer dalam kebijakan pemerintahan bukanlah solusi untuk masalah substantif yang ada. Sebaliknya, ini mungkin mencerminkan kepanikan Jokowi karena kurangnya minat dari investor asing serta lambatnya progres pembangunan yang mungkin tidak memenuhi ekspektasi publik dan investor.
Dalam konteks ini, pengundangan influencer dapat dianggap sebagai langkah untuk mendapatkan validasi instan.
Influencer, dengan pengaruh dan jangkauan mereka di media sosial, dianggap mampu menyebarluaskan pesan positif dan menarik perhatian publik. Namun, pertanyaannya adalah apakah validasi dari influencer benar-benar mampu menggantikan substansi kebijakan dan efektivitas pembangunan?
Manuel Castells, seorang sosiolog Spanyol yang terkenal dengan teorinya tentang "The Network Society", memberikan perspektif penting tentang bagaimana jaringan digital membentuk dan mempengaruhi komunikasi sosial, politik, dan ekonomi di era modern.
Castells menguraikan bahwa dalam masyarakat jaringan, komunikasi digital menjadi alat utama untuk membentuk opini publik dan menciptakan realitas sosial.
Dalam konteks ini, penggunaan influencer oleh Jokowi bisa dipahami sebagai bagian dari strategi komunikasi digital yang lebih luas, di mana validasi dan dukungan publik dicari melalui jaringan sosial yang dibangun oleh para influencer.
Namun, Castells juga mengingatkan bahwa komunikasi digital tidak selalu menjamin substansi dan kedalaman dalam pembahasan isu-isu penting. Validasi yang diperoleh melalui media sosial bisa bersifat sementara dan superfisial, serta tidak selalu mencerminkan kenyataan di lapangan.
Oleh karena itu, meskipun influencer dapat membantu menyebarkan pesan positif, mereka tidak bisa menggantikan kebutuhan akan kebijakan yang berbasis pada data dan analisis yang mendalam.
Citra digital dibentuk melalui berbagai cara, termasuk posting media sosial, interaksi dengan pengikut, dan kolaborasi dengan pihak lain, seperti influencer. Dalam konteks pemerintahan, citra digital digunakan untuk membangun reputasi dan memperoleh dukungan publik.
Penggunaan influencer adalah salah satu strategi untuk memperkuat citra digital pemerintah dengan harapan bahwa dukungan dari tokoh populer akan meningkatkan kepercayaan publik. Namun, citra digital bisa bersifat superfisial dan tidak selalu mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.
Validasi instan yang diberikan oleh influencer mungkin tidak menggambarkan keadaan sebenarnya dari proyek atau kebijakan yang sedang dijalankan. Akibatnya, ada risiko bahwa publik bisa disesatkan oleh citra positif yang tidak berdasar pada realitas.
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV