Anima Mundi
Opini | 8 Juli 2024, 23:00 WIBoleh: Trias Kuncahyono
KAMI bertemu Barbara Jatta di ruang tamu kamar kerjanya. Perempuan sejarawan Italian kelahiran 1962 ini, sejak Juni 2016, dipercaya oleh Paus Fransiskus menjadi Direktur Museum Vatikan. Dengan menduduki jabatan itu, ia menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai Direktur Museum Vatikan.
Di masa kepausan Paus Fransiskus, jumlah perempuan yang berkarya di lingkungan Vatikan semakin banyak. Berdasarkan data Vatican News, Paus Fransiskus meningkatkan jumlah tenaga kerja perempuan di Vatikan secara signifikan, termasuk di posisi-posisi tinggi.
Pada tahun 2013, saat Paus Fransiskus memulai masa kepausannya, persentase perempuan yang bekerja di Vatikan, 19,3 persen; tahun 2023 menjadi 23,4 persen. Menurut America, The Jesuit Review (9/3/2023) di Kuria saja–kantor yang menjalankan roda Gereja Katolik universal–persentase perempuan mencapai 23 persen; yang berarti satu dari empat pekerja adalah perempuan.
Dan, Barbara Jatta adalah salah satunya. Hari itu, kami datang untuk berkenalan dengan Barbara, sekaligus membicarakan kemungkinan dijalin kerja sama. Sebelumnya, memang sudah ada kerja sama yang menghasilkan dibangunnya Taman Borobudur di Museum Vatikan.
Kami ingin melanjutkan kerja sama itu. Dan, dari pembicaraan kami dengannya, kemungkinan kerja sama itu, terbuka.
***
Lewat jendela kaca ruang tamu, kami bisa melihat kubah Basilika Santo Petrus serta pohon-pohon di Taman Vatikan, yang daunnya begitu segar, hijau. Langit biru cerah dengan gerombolan awan putih persis di atas kubah. Indah.
Memang pada awal mula semua indah. Tuhan telah membuat segala sesuatu indah pada waktunya’, kata pengkhotbah (Pkh. 3:11). Tuhan menyukai keindahan. Dia menanam pohon-pohon di Taman Eden yang enak dipandang dan baik untuk dimakan (Kejadian 2:9). Dia mengisi dua orang perajin, Bezalel dan Oholiab, dengan Roh-Nya, sehingga mereka dapat membuat patung emas yang indah untuk Kemah Suci (Kel. 31:3).
Dia menaruh pelangi berwarna-warni di langit untuk meneguhkan perjanjian-Nya dengan umat manusia (Kejadian 9:12,13). Dia menyatakan kemuliaan-Nya melalui keindahan alam (Mzm 19:1). Dia menganugerahi umat manusia dengan budaya yang berbeda-beda sehingga masyarakat dapat memujanya dengan beragam tradisi dan adat istiadat yang indah, adiluhung.
Keindahan budaya yang diwujudkan dalam bentuk seni lokal merupakan bagian penting dari ekspresi ibadah masyarakat di seluruh dunia. Bagi masyarakat Bali, misalnya, berkesenian bukan hanya menjadi kerja kebudayaan, tetapi juga berlaku sebagai ibadah.
Dan dalam berkesenian itu, daya kreativitas sangat penting dan dibutuhkan. Kreativitas adalah bagian dari Imago Dei (gambar Tuhan) dalam diri kita, karya seni yang kita buat ‘mencerminkan keindahan dan kebenaran Tuhan’.
***
Semua indah, seindah makna tulisan di dinding dekat pintu masuk Museum Etnologi Vatikan yang sekarang bernama Anima Mundi. Begitu masuk ke Anima Mundi di dinding sebelah kanan ditulis “ANIMA MUNDI,” lalu di bawahnya ditulis “Popoli, arte e culture“; dan di bawahnya lagi, “people, art and cultures.”
Anima Mundi. Jiwa Dunia. Kata Paus Fransiskus saat meresmikan ruang pameran di Anima Mundi, 18 Oktober 2019, “Anima Mundi adalah tempat tanpa hambatan, tanpa penghalang. Mereka yang masuk ke sini harus merasakan bahwa di rumah ini juga terdapat ruang bagi mereka, bagi masyarakatnya, tradisinya, budayanya. Semua orang ada di sini, dalam bayang-bayang kubah Santo Petrus, dekat dengan jantung Gereja dan Paus.”
Karena “anima“, jiwa, memang tidak bisa dihambat, dikerangkeng, dikurung, dibatasi geraknya. Begitulah seni. Seni bebas dari segala hambatan, rintangan, termasuk agama dan bahasa yang seringkali memisahkan orang satu sama lain. Maka seni ini dapat dirasakan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang budaya.
Seni itu sendiri adalah bahasa; bahasa universal; bahasa keindahan; bahasa pemersatu, bahasa petadaban, bahasa budaya. Seni adalah bahasa komunikasi, ekspresi.
Sepanjang sejarah peradaban, manusia bercerita secara visual, untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya. Lukisan gua di Zaman Batu, misalnya, atau segel silinder Mesopotamia, relief makam Mesir, petroglif penduduk asli Amerika, ikon keagamaan, dan masih banyak lainnya. Semua itu menunjukkan pengalaman kreatif manusia dalam mengungkapkan perasaannya yang bebas; dalam mengungkapkan maksudnya dalam berkomunikasi.
Hasil ungkapan perasaan bebas itu, antara lain ada di Museum Anima Mundi. Menurut Vatican News, lebih dari 80 ribu artifak–sebuah bukti masyarakat dan budaya dari seluruh penjuru dunia – dipamerkan di museum itu yang sebelumnya dikenal sebagai Museum Etnologi di Museum Vatikan. Tentu, termasuk miniatur Candi Borobudur.
Kata Paus Fransiskus, mereka yang masuk ke Museum Anima Mundi harus merasa bahwa di rumah ini ada ruang bagi mereka juga, bagi masyarakat mereka, tradisi mereka, budaya mereka: orang Eropa, orang India, orang Cina, penduduk asli Amazon atau Hutan Kongo, dari Alaska atau Hutan Kongo. Gurun Australia atau kepulauan Pasifik.
Semua orang ada di sini, dalam bayang-bayang kubah Santo Petrus yang megah dan sarat cerita, dekat dengan jantung Gereja dan Paus. Hal ini karena seni bukanlah sesuatu yang dicabut: seni muncul dari hati masyarakat. Di sini mereka juga harus merasa bahwa seni “mereka” memiliki nilai yang sama dan dirawat serta dilindungi dengan semangat yang sama.
Di Museum Anima Mundi, mereka akan menemukan ruang istimewa: ruang dialog, ruang keterbukaan terhadap orang lain, ruang perjumpaan; perjumpaan secara fisik bukan secara virtual. Kata Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti, Semua Saudara, “Hidup merupakan “seni perjumpaan” dengan setiap orang, bahkan dengan orang-orang di pinggiran dunia dan dengan bangsa-bangsa asli, karena “masing-masing dari kita bisa belajar sesuatu dari yang lain.
Dan, di Museum Anima Mundi, kita semua bisa belajar; belajar hidup berbudaya….
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV