KAISAR
Opini | 20 Mei 2024, 07:07 WIBOleh Trias Kuncahyono
VATIKAN, KOMPAS.TV - Siang itu, kami berenam ngobrol sekitar tiga jaman di Restoran Passpartout, Jalan Borgo Pio 50. Restoran itu tak jauh dari Basilika Santo Petrus, Vatikan. Di sepanjang jalan itu, kiri-kanan, banyak restoran dan kafe.
Seperti jalan-jalan lainnya di Roma, separoh badan jalan dan juga trotoar, diokupasi jajaran tenda lengkap dengan meja-kursi milik restoran-restoran dan kafe-kafe itu. Banyak orang yang lebih senang duduk di luar apalagi bila cuaca bersahabat ketimbang di dalam, untuk makan dan minum.
Namanya ngobrol, maka yang kami obrolkan macam-macam. Kami–Atase Pertahanan RI untuk Italia Kolonel Laut (P) Aminuddin Albek, Romo Markus Solo Kewuta SVD (Islamolog ini adalah satu-satunya rohaniwan Indonesia yang berkarya di Vatikan sebagai Staff Dikasterium untuk Dialog Umat Beragama), Ketua IRRIKA Romo Alponsus Kurniawan Zeno Pr, Sekjen IRRIKA Romo Rifaldi Abut Pr, Asisten Athan Mayor Sus Satriyo Untung Yudhanto, dan saya–terlibat dalam obrolan dan diskusi banyak hal.
Tapi, kami tidak bicara soal politik. Setiap kali mau masuk ke soal politik, seperti ada semacam kesepakatan untuk tidak meneruskan. Ibarat kata hanya sampai di depan “pintu gerbang” yang masih tertutup. Mengetuk pintu pun, tidak. Apalagi membukanya untuk sekadar melongok.
Kami lebih senang ngobrol soal budaya, seni, masalah-masalah kemanusiaan, dan agama. Roma memang kota seni dan budaya. Roma kota yang berdiri di atas reruntuhan, situs kota lama kaya akan cerita.
***
Padahal, sebenarnya ngobrol soal politik di Roma sangat menyenangkan. Roma adalah kota yang memiliki sejarah politik panjang; penuh intrik dan tipu daya; konspirasi dan aliansi; kolusi dan nepotisme; korupsi dan kongkalingkong; kesetiaan dan pengkhianatan.
Tapi, sejarah juga menceritakan, para kaisar Romawi dikenal memimpin berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia. Mereka membangun gedung-gedung dan bangunan-bangunan dengan arsitektur indah, dan memfasilitasi seniman berkreasi dan memertontonkan karya seni mereka dalam berbagai macam dan rupa.
Para paus pun demikian. Mereka memberi kesempatan dan tempat kepada para seniman– misalnya, Bernini, Michelangelo, Caravaggio, Raphael dan banyak lagi–untuk mengeskpresikan keahlian mereka; pengalaman dan refleksi hidup mereka lewat karya-karya seni. Sekarang kita masih bisa melihat dan menikmatinya, karya para seniman besar itu.
Walau demikian, harus diakui pula, lembaran sejarah para pemimpinnya–raja, senator, kaisar, dan paus–tidak selalu bersih, terang benderang, tapi juga buram, abu-abu, bahkan gelap. Maka, di jantung kota Roma, di bawah bangunan kuno nan megah dan monumen emas, terdapat dunia ambisi dan persaingan yang penuh gejolak.
Sepanjang sejarahnya–mulai pada tahun 31 SM saat Augustus (di Roma) memproklamasikan dirinya sebagai kaisar pertama dan tahun 1453 dengan Constantine XI Dragases Palaiologos (di Konstantinopel), sebagai kaisar terakhir–Roma diperintah banyak kaisar. Menurut Acta Theologica Supplementum 7 (2005), dari tahun 27 SM sampai 476, Kekaisaran Romawi Barat memiliki 77 kaisar.
Jumlah tersebut tidak termasuk para kaisar Romawi Timur (pada tahun 286 Kekaisaran Romawi pecah jadi dua: Barat dan Timur) yang berpusat di Konstantinopel. Setelah Romawi Barat ambruk pada tahun 476, Konstantinopel menjadi satu-satunya pusat kekuasaan Kekaisaran Romawi.
Yang menarik, dari 77 kaisar itu, 33 kaisar di antaranya dibunuh (March 2010, Acta Theologica 26. 2). Tercatat 30 dari 33 kaisar (data lain menyebut 77 kaisar; tidak termasuk Nero yang bunuh diri) yang dibunuh dengan pedang atau belati (lima orang dipenggal kepalanya), seorang dicekik, satu orang digantung dan satu orang dibunuh dengan cara dirajam.
Dari 30 orang yang dibunuh, 26 orang di antaranya dibunuh oleh tentara Romawi (lima di antaranya dipenggal) dan satu (Valentinian III) oleh tentara bayaran Jerman. Tujuh kaisar yang turun takhta sebelum kematian mengakhiri kekuasaan mereka — hanya dua yang meninggal karena sebab alamiah.
Ada yang berkuasa sangat pendek: Kaisar Didius Julianus berkuasa selama 61 hari dan Kaisar Pertinax bertakhta 86 hari. Keduanya menjadi kaisar pada tahun 193 (rome.us).
Kaisar termuda yang jadi korban intrik dan dibunuh adalah Geta (211). Saat itu, ia berusia 22 tahun. Naik takhta tiga tahun sebelumnya. Dalang pembunuhan itu saudaranya sendiri yakni Caracalla, yang sebelumnya menjadi kaisar pendamping. Caracalla ingin menjadi penguasa tunggal (italianartsociety.org).
Kalau Geta adalah kaisar termuda yang dibunuh, maka Marcus Claudius Tacitus adalah kaisar tertua jadi korban pembunuhan politik. Saat dibunuh Tacitus berusia 75 tahun. Yang lalu digantikan saudara tirinya, Florian. Tapi, tiga bulan kemudian dibunuh prajuritnya (britannica.com).
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV