KUBERIKAN SUARAKU PADAMU
Opini | 13 Februari 2024, 23:30 WIBOleh: Trias Kuncahyono
HUJAN tipis-tipis sejak dini hari setia menemani hari Sabtu tanggal 10 Februari kemarin. Bahkan di beberapa bagian Kota Abadi, begitu gelar yang disematkan pada Roma, hujan deras.
Benar, prakiraan cuaca yang dikeluarkan lembaga prakiraan cuaca: sepanjang hari pada 10 Februari, 98 persen diperkirakan akan hujan mulai pukul 08.00, suhu berkisar antara 4 derajat Celsius hingga 12 derajat Celsius. Angin bertiup sedang sampai kencang.
Namun, sejak pukul 09.30 para biarawati dan biarawan dari Indonesia yang berada di Roma, baik berkarya maupun belajar, sudah berdatangan ke kompleks KBRI Takhta Suci. Mereka tak hiraukan hujan gerimis lembut yang terus turun dan angin yang tak habis-habisnya bertiup.
Baca Juga: KULIHAT IBU PERTIWI...
Tujuan mereka hanya satu, menunaikan haknya sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab: memilih presiden dan wakil presiden dan anggota DPR.
Di KBRI Takhta Suci, tercatat 1601 orang sebagai pemilih tetap yang tersebar di seluruh Italia: rohaniwati 1429 orang, rohaniwan dan biarawan 161, serta staf dan keluarga 11 orang (dan Daftar Pemilih Tambahan, 119 orang).
Ada dua TPS yakni di Roma dan Napoli; serta pemilih menggunakan metode mimilih lewat pos. Komandan pemilu di KBRI Takhta Suci: KPPLN adalah Romo Antonius Setyagerawan dan KPPSLN-nya, Romo Alponsus Zeno Kurniawan.
***
Mereka ikut pesta. pesta demokrasi. Memang, pemilu sering disebut pesta demokrasi. Meski pestanya tidak selalu meriah dan menyenangkan. Pernah suasana pesta mendebarkan, mencemaskan, bahkan menakutkan.
Banyak cerita di dunia internasional, pemilu demokratis yang justru menjadi awal dari ontran-otran. Misalnya, Pemilu 1986 yang menjadi lahirnya Revolusi Kekuatan Rakyat, People Power Revolution dan berujung dengan tumbangnya diktator Filipina, Ferdinand Marcos. Semua itu terjadi karena adanya kecurangan dalam pemilu.
Tetapi, bagaimanapun diakui bahwa demokrasi adalah sistem politik yang bernilai universal. Meskipun, di setiap negara ada ciri khasnya masing-masing.
Karena itu, kata Paus Fransiskus, saat berkunjung ke tanah kelahiran demokrasi, Yunani, Barat tidak perlu mengekspor demokrasi ke negara lain. Namun, yang harus dilakukan adalah membantu negara lain untuk mematangkan demokrasi sesuai dengan karakteristik mereka.
Sebab, tidak setiap orang (negara) menginginkan “demokrasi Barat.” Rakyat China, misalnya, mungkin berpikir bahwa sistem politik mereka yang menganut sistem negara satu-partai, adalah sebuah “demokrasi rakyat.” Kita dulu memiliki “demokrasi terpimpin” lalu kini “demokrasi Pancasila.”
Terlepas dari semua itu, satu hal yang disepakati umum bahwa gagasan demokrasi–yang secara umum diartikan sebagai ‘pemerintahan oleh rakyat”–adalah gagasan yang kuat dan universal. Meskipun para ilmuwan sosial memiliki definisi yang berbeda-beda tentang demokrasi, tapi gagasan tentang self-government, pemerintahan mandiri inilah yang menjadi intinya.
Maka kita semua harus terlibat dalam pengambilan keputusan politik yang berdampak pada kita. Apa yang dilakukan para biarawati dan biarawan WNI di Italia kemarin adalah wujud dari keterlibatan itu.
Dengan senang hati mereka membuang rasa dingin dan pergi ke kompleks KBRI untuk memberikan suara. Seakan apa yang dikatakan Mgr Soegijapranata dulu bergema lagi: jadilah 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.
***
Baca Juga: "Vox Populi" dan "Vox Diaboli"
Tapi kata Ben Ansell dalam Why Politics Fails, The Five Traps of the Modern World –and How to Escape Them (2023), demokrasi seringkali membuahkan hasil yang tidak konsensual. Seringkali orang tidak setuju.
Ketidak-sepakatan ini yang menjadi jebakan demokrasi. Tidak ada yang namanya ‘kehendak rakyat.’ Kalau bukan kehendak rakyat, lalu, kehendak siapa?
Maka itu, rasanya harus diakui bahwa “gara-gara” demokrasi sering kali terjadi menjadi adu mulut, pertengkaran, cekcok antara pihak yang menang dan yang kalah; memisahkan teman dan tetangga, serta mempolarisasi kita. Maka harus diupayakan agar demokrasi berhasil.
Artinya, bila demokrasi berhasil berarti menghentikan kegagalan politik. Maka kata Joseph Schumpeter, apa pun hal lain yang mungkin penting dalam demokrasi, intinya adalah memperoleh ‘kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui kontestasi kompetitif untuk mendapatkan suara hati rakyat.’
Kesimpulan pendek itu memiliki tiga implikasi. Pertama, ‘suara rakyat’: masyarakat adalah penentu akhir siapa yang berkuasa. Kedua, ‘kontestasi kompetitif’: tidak ada gunanya pemungutan suara publik jika hanya ada satu opsi untuk memilih atau tidak ada kebebasan untuk memilih sesuai hati nurani alias terpaksa atau tertekan.
Dan ketiga, ‘mendapatkan hak untuk memutuskan’: tidak ada gunanya memberikan suara jika kandidat yang berhasil memengangi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena memang tidak cukup memiliki kemampuan, misalnya.
***
Maka harapannya adalah pemilu yang betul-betul demokratis, jujur, adil, bebas, dan rahasia, katakanlah bisa menjadi semacam kairos, waktu yang luar biasa, waktu yang dinanti-nantikan, waktu yang punya daya dobrak untuk melahirkan perubahan ke kebaikan.
Kairos bisa dikatakan semacam waktu sejarah yang bisa mengubah bahkan menjungkirkan keadaan yang usang dan rusak menjadi keadaan yang total baru.
Kata Romo Sindhunata dalam kairos tersembunyi harapan. Dan, begitu kairos datang, harapan itu menguak jadi kekuatan yang bisa mengubah masyarakat secara drastis dan revolusioner.
Nah, tentu semua yang memberikan suaranya dalam pemilu–termasuk juga para biarawan dan biarawati di Italia tanpa kecuali–mengharap pemimpin yang terpilih di dalam dirinya ada kairos bukan sekadar kronos.
Kronos berarti waktu berjalan seperti jam ke jam, hari ke hari, minggu, bulan hingga tahun ke tahun. Apa saja yang menjadi kegiatan di dalamnya, jadwal waktu bagi mereka yang tertib rencana. Dari kata kronos lahir kata kronologis, urut-urutan peristiwa.
Waktu ini akan terus berjalan menurut hukumnya, tidak pernah kembali. Dan, di dalamnya ada keberhasilan, juga kegagalan; bisa jadi ada kenangan menyenangkan, tapi juga menyedihkan yang mungkin berusaha dikubur.
Selain itu, di sana juga ada penyesalan. Penyesalan karena tak bisa kembali untuk mengubahnya agar menjadi seperti apa yang diinginkan. Semua peristiwa yang terjadi tercatat dalam perjalanan hidup, itulah kronos.
Dan di dalam kronos bisa jadi ada kairos. Ada kekuatan yang bisa mengubah masyarakat secara drastis dan revolusioner menjadi jauh lebih baik dibanding masa-masa sebelumnya. Karena kairos itu menyangkut kualitas peristiwa.
Maka, kemarin, kuberikan suaraku kepadamu, kairos….
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV