Kupandang Visuvius dari Balkon
Opini | 21 Januari 2024, 07:05 WIBOleh: Trias Kuncahyono
Di balkon timur biara Le ancelle del Sacro Cuore, Pelayan Hati Kudus, Napoli, kami berdiri, pagi itu. Ditemani Madre (Ibu) Anna, pemimpin tarekat itu, kami memandangi Gunung Visivius, di arah timur. Tidak terlalu jauh. Hanya 9 kilometer dari kota.
Gunung yang menyimpan banyak cerita itu terlihat biru. Indah. Kami seperti melihat Gunung Merapi dan Merbabu dari Yogya atau melihat Gunung Sindoro dan Sumbing dari Magelang. Gunung Visivius itu berpasangan dengan Gunung Soma; seperti Merapi dan Merbabu, Sindoro dan Sumbing.
Dibanding Gunung Merapi, Gunung Visuvius, lebih rendah. Yakni, hanya 1.281 meter (menurut ukuran ketinggian 2013); sementara ketinggian Gunung Merapi, 2.910 meter.
Tetapi, kisah gunung yang menurut mitologi adalah gunungnya Hercules, tak kalah menariknya. Pada tahun 79 M, setelah berabad-abad tidur, Visuvius erupsi dan mengubur kota Pompeii.
Setelah itu, masih 40 kali erupsi dan terakhir 1944. Erupsi 16 Desember 1631, menewaskan 3.000 orang, lava mengalir sampai laut, menggelapkan langit selama berhari-hari.
“Suatu ketika harus pergi ke Pompeii, kota yang dulu dikubur letusan Visuvius,” kata Madre Anna.
“Kota itu indah,” lanjutnya.
Saat bertemu para suster dari Pompeii, yang menghadiri acara Natalan IRRIKA di biara itu, mendapat tambahan cerita yang lebih menarik lagi tentang Pompeii. IRRIKA adalah Ikatan Rohaniwan Rohaniwati di Kota Abadi Roma; tapi sejak beberapa tahun lalu, menjadi seluruh Italia.
Kata mereka, lereng Visuvius ditutupi kebun anggur dan tanaman buah-buahan yang lain. Anggur yang ditanam di kawasan itu dikenal dengan sebutan Lacrima Christi (bahasa Latin untuk “air mata Kristus”).
Di bagian atas, gunung ini ditumbuhi pepohonan ek dan kastanye. Di sisi utara sepanjang lereng Gunung Soma masih berupa hutan yang berlanjut hingga ke puncak.
***
Napoli. Ini kali ketiga kami ke Napoli kota yang menurut sejarah Italia moderen menjadi pijakan Benito Mussolini saat menggerakkan revolusinya. Dari kota di Italia Selatan inilah kaum fasis pimpinan Mussolini mulai bergerak ke Utara untuk merebut dan menguasai Roma.
Saat kongres kaum fasis wilayah Italia Selatan di Napoli, 24 Oktober 1922, Mussolini berteriak lantang, “Noi vogliamo diventare Stato.” Kita ingin menjadi sebuah negara. Yang dimaksudkan dengan “kita” adalah kaum fasis. Jadi, cita-cita Mussolini adalah mendirikan negara fasis.
Kongres itu digelar di San Carlo Theatre, Napoli yang oleh Mussolini disebut Ratu Mediterania. Mussolini membakar semangat kaum fasis untuk bergerak seperti orang-orang Romawi yang berkeinginan kuat untuk membangun kembali negara–yang saat itu dipandangnya sudah rusak–dengan kerja keras untuk masa depan yang cerah.
Ia tidak percaya bahwa sejarah akan mengulang dirinya sendiri; bahwa sejarah mengikuti jalur tertentu. Ia juga tidak percaya bahwa setelah Demokrasi harus muncul Demokrasi super. Mussolini berkeyakinan bahwa sejarah baru harus diciptakan.
Dan, anak pandai besi itu menciptakan sejarah baru Italia; meskipun sejarah hitam. Tahun 1925, ia membubarkan pemerintahan demokratik; menyatakan dirinya sebagai diktator Italia bergelar “Il Duce”, Sang Pemimpin.
Kata John Foot dalam Blood and Power, The Rise and Fall of Italian Facism (2023), setelah membakar semangat kaum fasis dan rakyat Napoli yang hadir dalam kongres itu, Mussolini yang berpakaian hitam-hitam itu pergi ke Milan, Italia Utara. Di kota itu, ia mengobarkan semangat perlawanan.
Setelah Mussolini pergi, Michele Bianchi, salah satu tokoh pendiri gerakan fasis, berteriak lantang, “Saudara-saudara, apa yang kita lakukan di Napoli…? Saya ingin tengah hari sudah di Roma.”
Teriakan Michele Bianchi itu laksana perintah; seperti membangunkan massa dari tidur. Maka bergeraklah ribuan orang berpakaian hitam-hitam menuju Roma. Dari Milan, setelah pidato Mussolini, bergerak pula ribuan orang ke Roma.
Dari Napoli, gerakan menuju Roma itu dipimpin empat orang: Michelle Bianchi, Italo Balbo, Cesare De Vecchi, dan Emilio de Bono.
Tanggal 30 Oktober 1922, Mussolini yang berpakaian hitam dan bertopi, berjabat tangan dengan Raja Victor Emanuel III di Palazzo del Quirinale, Roma. Inilah awal Mussolini berkuasa menjadi diktator fasis sampai akhirnya ditembak mati pada hari Sabtu, 28 April 1945 oleh Walter Audisio. Salah satu gundiknya, Claretta Petacci, juga ditembak mati.
Jasad Mussolini dan Patacci, kemudian digantung dengan posisi kepala di bawah, di Piazza Loreto, Milan.
***
Jejak Mussolini masih bisa dilacak di Napoli, kota paling terbesar di Mezzogiorno, sebutan untuk wilayah selatan Italia. Michael Mccanne dalam The New Inquiry, 19 Februari 2014, menulis sebelum PD II sebagian besar penduduk wilayah itu menjadi buruh garap tanah pertanian dan perkebunan.
Masyarakat dikuasai dua kelompok besar: tuan tanah yang menguasai pertanian serta perkebunan dan jaringan kelompok kriminal. Di Sicilia, jaringan kriminal disebut Cosa Nostra, N’dragheta di Calabria, dan Camorra di Napoli.
Ketika kaum Fasis mengambil kendali Mezzogiorno, mereka menekan kelompok komunis yang mulai berkembang dan jaringan kekuatan feodal itu (tuan tanah dan jaringan kriminal).
Tapi, setelah Sekutu membebaskan Italia pada PD II dan menyingkirkan kelompok fasis, masyarakat dihadapkan pada pilihan: jaringan kriminal atau komunis
Mereka memilih jaringan kriminal. Sebab, memberikan pekerjaan kembali. Maka jaringan mafioso kuat lagi di Mezzogiorno. Kelompok ini lalu beraliansi dengan Partai Demokrat Kristen (yang mendominasi politik Italia hingga tahun 1990-an).
***
Itu wajah lain dari Napoli. Kota yang didirikan oleh orang-orang Yunani pada tahun 470 SM itu punya banyak wajah dan cerita. Tentu wajah lain, yang ramah, yang adem, yang bersahabat, dan yang saleh ditampilkan oleh kota yang disebut “Kota Seribu Gereja” dan “Kota 500 Kubah” itu.
Sebutan itu menegaskan bahwa di Napoli ada banyak gereja, yang indah-indah, bersejarah, berseni arsitektur tinggi, dan yang punya banyak cerita. Sebut saja antara lain Katedral Napoli, Certosa di San Martino, San Francesco di Paola, Gesu Nuovo, Girolamini, San Domenico Maggiore, Sant’ Angelo a Segno, dan San Paolo Maggiore, dan Santa Chiara
Ada pula wajah O Sole Mio yang romantis, atau pizza margherita, pasta, macaroni omelette, eggplant parmigiana, masakan ikan laut dan tawar atau kopi yang begitu memanjakan lidah. Wajah pasar tradisional, Teluk Napoli sangat indah pula. Juga katakombe yang mistis.
Yang tak boleh dilupakan, selama berabad-abad, ibu kota wilayah Selatan ini telah menjadi kota dengan spiritualitas mistis, kudus yang berakar kuat dalam darah.
Napoli, tanah para suci dan pemujaan kuno. Di Napoli tidak hanya ada darah San Gennaro (Santo Januarius) yang banyak memberikan mukjizat tetapi masih banyak peninggalan para suci, martir dan pertapa lainnya, yang hingga kini masih disimpan di gereja-gereja, biara-biara, dan kapel bangsawan keluarga Neapolitan kuno, yang menjadi simbol kekuatan dan kehidupan.
Di Kompleks Biara Hati Kudus Yesus, di Ponticelli, Napoli, misalnya, yang hari itu kami kunjungi disimpan relikwi dan rupa-rupa benda-benda peninggalan Santa Caterina Volpicelli, pendiri tarekat itu.
Bagaimana Caterina Volpicelli ( dan juga para pembela iman yang lain) bisa menjadi orang suci, orang kudus? Apa yang mereka lakukan? Apakah di zaman sekarang ini–zaman yang konsumtif, yang transaksional, yang egois, yang rakus, yang korup, yang tidak adil, yang penuh kebohongan dan kemunafikan–dapat “melahirkan” orang kudus, orang suci?
Kata Paus Fransiskus, kita semua dipanggil menjadi suci dengan menjalani hidup kita dengan cinta dan memberikan kesaksian dalam segala hal yang kita lakukan, di mana pun kita berada.
Menjadi suci, katanya, berarti hidup sederhana, mengutamakan Tuhan, percaya pada-Nya dan bukan kekayaan atau kekuasaan duniawi, rendah hati, menghibur yang berduka, penuh belas kasihan dan memaafkan, bekerja untuk keadilan dan mencari perdamaian dengan sesama.
Tetapi, kata Paus, menjadi suci tidak mudah (terlebih lagi di zaman sekarang ini….di mana kepalsuan hati, kemunafikan kepura-puraan, penyalah-gunaan otoritas, dan menggunakan agama untuk kepentingan duniawi dari waktu ke waktu makin kuat dan menyebar luas).
Zaman memang telah berubah. Tuntutan zaman juga berubah. Tapi, orang seperti Mussolini–yang menghasut rakyat banyak, munafik, haus serta mabuk kekuasaan–atau para tuan tanah yang mengeksploitasi wong cilik miskin, rakyat jelata, dan jaringan kejahatan, saat ini masih tetap ada.
Bahkan, barangkali, sekarang justru jauh lebih ganas dibanding letusan Gunung Visuvius tahun 79 M yang mengubur kota Pompeii dan Herculabeum beserta puluhan ribu penduduknya sekaligus…
***
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber :