Berpolitik Itu Tidak Dosa
Opini | 27 November 2023, 09:33 WIBTapi, makna sesungguhnya istilah zoon politikon adalah manusia makhluk yang hidup bersama orang lain. Dan, itulah kodrat dasar manusia.
Maka, jika kegiatan berpolitik dilandaskan pada penghormatan harkat martabat manusia (karena manusia makhluk yang hidup bersama orang lain), niscaya kegiatan ini menjadi bentuk lain dari kasih.
Paus Pius XI menggambarkan politik sebagai “bentuk amal tertinggi” “untuk keadilan dan perdamaian.”
Dengan rumusan lain, Paus Paulus VI mengatakan, politik adalah salah satu bentuk praktek cinta kasih yang paling mulia karena mengusahakan bonum commune atau kebaikan bersama.
Karena untuk kebaikan bersama, kata Paus Fransiskus, umat Katolik harus terlibat dalam politik.
Meskipun politik itu mungkin “kotor”, membuat frustrasi dan penuh dengan kegagalan (2015).
Bahkan Paus Fransiskus (2013) mengatakan, umat Katolik tidak boleh acuh tak acuh terhadap politik.
Umat harus merasa ikut bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam politik sesuai dengan kemampuannya, dan dengan cara ini ikut bertanggung jawab.
Dalam Ensiklik Fratelli Tutti (Semua Saudara), Paus Fransiskus mengatakan, jenis politik yang dapat mewujudkan dunia
yang makin baik adalah politik kemanusiaan.
Politik kemanusiaan mencari dan menemukan kebaikan bersama yang bersifat universal yang berbasiskan praksis amal kasih dan peningkatan martabat manusia.
***
Tapi bagaimana dengan para biarawan-biarawati?
Apakah semua itu berlaku juga bagi kaum religius; kaum hierarkis, para biarawan-biarawati atau hanya bagi kaum awam?
September lalu saat di Mongolia, Paus Fransiskus mengatakan, Yesus tidak memberikan mandat politik kepada para rasul-Nya, namun meminta mereka untuk meringankan penderitaan “kemanusiaan yang terluka” melalui iman.
Dengan kata lain Gereja tidak memiliki agenda politik.
Jauh sebelumnya, saat audiensi umum, 28 Juli 1993, Paus Yohanes Paulus II (sekarang Santo Yohanes Paulus II) mengatakan, para imam tidak memiliki misi politik (totus2us.co.uk).
Sebelumnya, Sinode Para Uskup tahun 1971 secara khusus menekankan bahwa para presbiter harus menjauhkan diri dari semua aktivisme politik.
Kata Sinode, “Kepemimpinan atau militansi aktif atas nama partai politik mana pun harus dikecualikan oleh setiap imam kecuali, dalam keadaan konkret dan luar biasa, hal ini benar-benar diperlukan demi kebaikan.” Itupun, harus mendapat persetujuan uskup.
Kaum klerus dan religius, para pemuka agama (imam, romo) secara umum telah diinstruksikan untuk tidak terlibat langsung dalam politik partisan, baik dengan mendukung kandidat politik atau mempromosikan partai.
Sebab, terutama karena para imam dipanggil untuk “selalu memupuk perdamaian dan keharmonisan berdasarkan keadilan yang harus ditegakkan di antara umat” (Kanon 287.1-2).
Hal itu mengharuskan mereka “untuk tidak berperan aktif dalam partai politik dan dalam mengatur serikat pekerja kecuali, menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang, hal ini diperlukan untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum. .”
Memang mereka secara pribadi mempunyai hak untuk berpendapat dalam politik dan menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nuraninya.
Maka, saat menjelang pemilu mereka harus bersuara lantang menentang ketidakadilan, dan mendukung perlindungan kehidupan manusia, termasuk menangani dimensi moral dan kemanusiaan dalam permasalahan publik.
Meskipun secara eksplisit mendukung kandidat dan partai politik tidak mungkin dilakukan, para imam memiliki tanggung jawab untuk membimbing umat tentang cara berpikir dan bertindak dengan “pikiran Kristus.”
Hal ini berarti membantu umat Katolik untuk memahami dan menerapkan apa yang diajarkan Gereja dalam hal kebijakan, hukum, dan kepemimpinan.
***
Siang itu, kami tidak bicara politik, secara panjang lebar. Apalagi, berpolitik praktis.
Tapi, kami berpolitik dalam arti memupuk, mempererat persaudaraan sebagai sesama warga negara Indonesia, yang berasal dari pelbagai wilayah di Indonesia. Kami berpolitik etis.
Kami ketika itu ingat yang dikatakan uskup pertama Indonesia, Mgr Albertus Soegijapranata, beberapa tahun silam.
Katanya, dalam perkara-perkara sekecil apapun Gereja hadir, terlibat di RT/RW, maka Gereja Katolik bagian dari bangsa dan negara ini.
Urusan pembaptisan adalah urusan Roh Kudus. Tetapi menjadikan Indonesia yang lebih jujur, lebih adil, lebih sejahtera, lebih manusiawi, lebih bermartabat adalah kewajiban umat Katolik.
Maka kata Mgr Soegijapranata umat Katolik Indonesia (tentu termasuk para biarawan-biarawatinya) harus 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.
Menjadi Katolik 100 persen, Indonesia 100 persen, tantangannya adalah menjaga Pancasila.
Baca Juga: Bahas Kewarganegaraan dan Repatriasi, Menkopolhukam bersama Menkumham Temui Eks MAHID di Belanda
Maka bicara kriteria seorang pemimpin (tentu yang Pancasilais) Gereja mengatakan carilah pemimpin yang memiliki kemampuan mengolah bangsa yang plural ini, rekam jejak kemanusiaan dan keluarganya baik, bukan hanya memberi janji tapi tidak punya bukti. ***
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV