> >

Serigala

Opini | 30 Oktober 2023, 00:00 WIB
St George (Sumber: Pixabay)

Manusia memang bisa ganas dan rakus. Ganas untuk mewujudkan keinginannya, kemauannya, ambisinya, dan nafsunya. Keganasan manusia barangkali, pada titik tertentu, melebihi keganasan binatang; seperti lupus, serigala.

Filsuf Inggris-lah, Thomas Hobbes (1588-1679), yang memopulerkan tulisan Plautus (254-184 SM), seorang penulis cerita-cerita komedi Romawi itu. Kata Plautus, “lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit” terjemahan lurusnya, “manusia adalah serigala bagi manusia, bukan manusia, bukan manusia apabila tidak paham hakikatnya”; hakikat kemanusiannya.

Namun, cerita Romulus dan Remus, menggambarkan serigala betina yang tidak ganas. Tidak memakan kedua bayi merah yang diketemukan di rawa-rawa; tetapi justru menyelamatkannya, mengangkat dari kubangan lumpur rawa-rawa Velabrum, menyusuinya, memberikan kehangatan, dan memberikan kehidupan baru.

Bukankah dengan demikian, serigala itu bukan serigala ganas seperti pada umumnya? Karena itu, kata penyair Ceecilius (280-168 SM), bukan “homo homini lupus” tapi “homo homini deus est, si suum officium sciat,” manusia adalah dewa (yang memiliki sifat baik) bagi yang lain bila mengetahui kewajibannya (dan menjalankannya dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab).

***

Foto ilustrasi burung merpati (Sumber: Istimewa via triaskredensial.com)

Tetapi, mengapa manusia yang ganas disebut serigala? Apakah serigala binatang terganas? Apakah keganasan manusia bisa menyamai atau bahkan melebihi serigala?

Entahlah. Tapi, ada nasihat bijak untuk menghadapi serigala yang ganas itu: “Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”

Sebenarnya, ular tidak digolongkan sebagai hewan cerdik. Tapi, seringkali justru digambarkan sebagai binatang yang licik. Sebab, biasanya menyergap mangsanya secara diam-diam ketika mangsanya tidak siap, cepat, dan pagutannya mematikan karena bisanya.

Merpati yang digunakan sebagai lambang perdamaian adalah dikenal sebagai binatang setia, termasuk setia pada pasangannya. Bila kita lepas dari tempat yang jauh dari rumah, akan pulang; kembali ke rumah di mana ia dipelihara, dirawat, diberi makan, dan diberi rumah.

Kesetiaan tidak pernah ada bila tanpa ketulusan. Orang yang setia dalam hidupnya pasti menunjukkan ketulusan hati dalam hidup dan karyanya pula. Kesetiaan dan ketulusan adalah cerminan moral yang baik.

Tapi kecerdikan saja akan membawa ke dalam bahaya karena terjerumus menghalalkan segala cara. Kalau sudah demikian, kecerdikan akan tergelincir menjadi kelicikan. Ketulusan saja akan menjadikan tak sanggup bersaing. Hati dan otak, sama pentingnya. Tidak salah satu, namun keduanya.

Meskipun, tidak jarang nasihat bijak digunakan untuk mencari pembenaran atas suatu tindakan, suatu perbuatan; suatu strategi perjuangan.

Maka kata filsuf Jerman Emanuel Kant (1724-1804), yang menggambarkan kaitan antara moralitas dan politik dengan simbol merpati dan ular, menasihati agar hati-hati dalam memilih memimpin.

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU