Bung Karno di Omah Petroek
Opini | 3 September 2023, 12:26 WIBSego kucing dan bakso. Itulah menu utama hari Rabu (23/8) siang di Omah Petroek, saat kerawuhan tamu agung: Presiden kelima (2001-2004) Republik Indonesia Ibu Megawati Soekarnoputri.
Yang nyambut Bu Mega, rakyat jelata, wong cilik, wong ndeso, dan seniman. Tidak ada pejabat tinggi. Tak ada sekat-sekat antara rakyat biasa, para seniman, dan tamu-tamu terpandang yang menyertai Bu Mega.
Tidak ada pula garis-garis pemisah antara yang wangi dan yang bau keringat; yang bersepatu dan yang bersandal jepit atau cekeran; yang sekolah tinggi maupun yang hanya sempat merasakan bangku sekolah dasar; yang kerja kantoran dan yang saban hari bergelut dengan lumpur di sawah atau di kebon; yang tahu seni bahkan menggeluti dan yang mengartikan seni sebagai tontonan semata-mata, serta acara siang itu sebagai hiburan di tengah cuaca panas yang seperti biasanya.
Omah Petroek, memang rumahnya rakyat dan seniman. Maka yang ada adalah rakyat dan seniman. Hasrat naluriah seniman adalah bertemu dengan rakyat. Kata pelukis Sudjojono, sebagai seorang seniman -sekaligus sebagai manusia Indonesia- karya seni haruslah bercorak Indonesia.
Agar bisa bercorak Indonesia, maka seniman tidak boleh hidup terpisah dari kehidupan rakyat. Sebab, keadaan rakyat-lah yang merupakan keadaan sesungguhnya. Karya seni pun haruslah bertolak pada keadaan rakyat itu. Inilah dasar realisme!
Hasrat naluriah seniman itu kesampaian di Omah Petroek, rumah rakyat.
***
Bu Mega rawuh untuk meresmikan patung Bung Karno setinggi enam meter. Peresmian keberadaan patung Bung Karno karya perupa/pematung Dunadi di Omah Petroek dilakukan di tengah kontroversi patung proklamator itu di daerah lain.
Inilah yang membuat Romo Sindhunata rohaniawan, budayawan, yang “mbaureksa” Omah Petroek, bertanya-tanya terus. Lewat pesen pendek, Romo Sindhu menulis: “Ias, nganti seprene, aku kabeh yo ora habis mengerti kok nganti ono patung iku lan Bu Mega kerso rawuh.”
Bisa dipahami kalau Romo Sindhu bertanya-tanya. Ia tidak perlu mengeluarkan dana miliaran rupiah -karena memang pasti tidak punya- untuk mendapatkan patung penggali Pancasila itu. Patung itu “datang sendiri.”
Patung diberikan secara gratis oleh Dunadi. Kata Romo Sindhu, “Tanpo ragad. Patunge ya paringane Mas Dunadi,” seorang perupa/pematung misuwur yang telah banyak membuat patung pahlawan.
Kedatangan Bu Mega pun bagi Romo Sindhu dan warga sekitar Omah Petroek adalah sesuatu yang tak terbayangkan. Sebab, Omah Petroek itu di desa. Untuk sampai Omah Petroek harus blusukan menyusuri jalan sempit di bawah rumpun bambu.
***
Mengapa Bu Mega kersa rawuh? Tanya Romo Sindhu, yang masih terus mencari jawabannya. Juga mengapa Dunadi tergerak hatinya memberikan patung Bung Karno kepada Omah Petroek?
“Ias kenapa patung Bung Karno itu dipasang di Omah Petroek? Di desa? Tidak dipasang di tengah kota (Yogya) yang memiliki hubungan historis sangat kuat dengan Bung Karno?” Begitu tanya Romo Sindhu lewat pesan pendeknya.
Padahal, sejarah sudah bercerita bahwa Yogyakarta pernah menjadi ibu kota republik ini dari 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949. Selama masa itu, pusat pemerintahan dikendalikan dari Gedung Agung Yogyakarta yang berperan menjadi istana kepresidenan. Karena itu, mengapa patung Bung Karno tidak didirikan di depan Gedung Agung, misalnya?
Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV