Dulu Jogja Terbuat dari Rindu dan Angkringan, Kini Tumpukan Sampah yang Bermasalah
Opini kompasianer | 1 Agustus 2023, 15:58 WIBKonten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.tv
YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Kata orang-orang, Jogja itu kota yang romantis. Mereka tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.
Kalau yang dimaksud adalah kawasan Malioboro, Kaliurang, atau Parangtritis, 'romantis' mungkin adalah kata yang tepat untuk mendefinisikannya. Sayangnya, tidak demikian untuk daerah sekitar TPST Piyungan.
Warga Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY) saat ini tengah dipusingkan dengan masalah sampah yang tak kunjung menemukan jalan keluar.
Pemerintah melalui surat edaran Pemda DIY mengumumkan penutupan TPST Piyungan dari tanggal 23 Juli hingga 5 September 2023. Alasan penutupan adalah kapasitas TPST yang sudah melampaui ambang batas maksimal. Apabila dipaksakan untuk menampung sampah, hal itu akan berisiko terhadap bencana longsor tampungan sampah.
Penutupan TPST Piyungan ini bukan yang pertama kali terjadi. Pada 7 Mei 2022 lalu, TPST Piyungan sempat ditutup sebagai bentuk protes warga sekitar terkait transisi pembuangan sampah ke lahan baru yang berada di sebelah utara TPST seluas 2,1 hektar.
Warga mengeluhkan dampak lingkungan akibat tampungan sampah yang sudah melebihi kapasitas. Selain bau, cairan lindi juga mencemari sumur-sumur warga sehingga air untuk memasak dan minum sudah tidak layak konsumsi.
Kondisi ini bisa juga membahayakan kesehatan warga seperti menyebabkan sesak nafas, gatal-gatal pada kulit, perut mual, muntah-muntah, diare bahkan gagal ginjal dan gangguan fungsi hati serta sistem saraf.
Koordinator aksi, Herwin Arfianto mengatakan ada dua hal yang mendasari aksi demo warga tersebut.
Pertama, masalah perizinan. Perizinan sebenarnya adalah untuk pengolahan sampah bukan pembuangan. Namun, sejak 1996 perizinan untuk tempat pengolahan terus diperpanjang meski nyatanya dipakai untuk pembuangan.
Kedua, kontrak sebenarnya sudah habis sejak Maret 2022, sehingga pembuangan sampah di TPST Piyungan yang masih berlangsung setelahnya dianggap ilegal.
TPST yang beroperasi sejak 1995 ini memiliki luas lahan 12 hektar dengan kapasitas maksimal 2,7 juta meter kubik. Awalnya, sistem pembuangan di TPST Piyungan menggunakan metode sanitary landfill sehingga hanya berlaku untuk sampah organik yang bisa terurai.
Metode ini kemudian berubah jadi control landfill karena tidak lagi memisahkan antara sampah organik dan anorganik. Perubahan metode ini menimbulkan peningkatan volume sampah dan risiko bencana ekologis.
Menurut data dari Dinas PUPR dan ESDM, sebagaimana dikutip oleh WALHI Yogyakarta, volume sampah yang ditampung oleh TPST Piyungan pada tahun 2022 mencapai 757,2 ton per hari.
Di masa libur Lebaran, jumlahnya bisa meningkat hingga sekitar 900 ton per hari. Sampah yang masuk ke TPST ini berasal dari tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Itu sebabnya tampungan sampah di TPST begitu banyak sehingga sering buka-tutup.
Kalau biasanya penutupan TPST hanya berlangsung beberapa hari, kali ini 45 hari. Di daerah Kota Yogyakarta, sampah menumpuk di sejumlah tempat pembuangan sampah sementara (TPS).
Di komplek tempat saya tinggal, sudah seminggu lebih mobil pengangkut sampah tidak beroperasi di sini.
Pemerintah daerah pun mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini. Di Sleman, sejumlah titik disiapkan sebagai lokasi TPS, misalnya TPS Cangkringan. Sementara di Bantul, warga diminta untuk mengoptimalkan TPST tingkat desa.
Pedukuhan-pedukuhan diminta untuk mengoptimalkan aktivitas pemilahan sampah. Begitu pula dengan Kota Yogyakarta yang masyarakatnya diimbau untuk imbauan untuk memilah dan mengolah sampah secara mandiri.
Saya sepakat bahwa masalah sampah berkaitan pula dengan kesadaran masyarakat. Kebiasaan buang-buang makanan, cara penyimpanan bahan makanan yang tidak tepat, kualitas tempat penyimpanan yang buruk, kebiasaan dan gaya hidup konsumtif adalah beberapa perilaku yang berkontribusi menghasilkan sampah.
Namun, persoalan sampah bukan hanya tanggung jawab satu pihak. Mengalihkan pembuangan sampah dari TPST Piyungan ke tempat lain adalah solusi sementara dan jangka pendek.
Ketika TPST Piyungan kembali dibuka, akankah masalah tumpukan sampah yang over capacity terulang seperti biasa?
Meski masyarakat sudah diimbau untuk memilah dan mengolah sampah secara mandiri, apakah seterusnya mereka akan konsisten? Apakah sosialisasi pengelolaan sampah sudah dilakukan secara masif dan merata?
Status Yogyakarta sebagai daerah istimewa sejatinya memiliki privilese berupa dana keistimewaan (Danais). Danais berbeda dengan APBD karena ia dianggarkan oleh Kementerian Keuangan dalam APBN. Penggunaannya diatur dalam UU No.13 tahun 2012, yang mencakup lima bidang, yaitu jabatan, tata ruang, pertanahan dan kelembagaan.
Nyatanya, penggunaan Danais kerap menuai kritik karena lebih sering digunakan untuk beautifikasi pariwisata ketimbang urusan yang lebih krusial dan mendesak.
Salah satunya berasal dari aktivis Jogja Corruption Watch (JCW), Baharrudin Kamba. Ia mengkritik penggunaan Danais untuk membangun sesuatu yang monumental seperti pemasangan pagar di Alun-Alun Utara dan tembok benteng Keraton yang menghabiskan dana hingga miliaran rupiah!
Belum lagi pembangunan ini dilakukan saat masyarakat Jogja lagi susah-susahnya karena gelombang PHK dan usaha gulung tikar dihantam pandemi Covid-19.
Menyelesaikan masalah sampah mungkin tidak semonumental pembangunan pagar atau tembok benteng. Tidak pula segagah pemugaran Tugu Pal Putih yang berlangsung setiap tahun sehingga bikin macet. Dan jelas tidak seromantis penataan Malioboro yang selalu siap menyambut wisatawan.
Namun, bisakah Danais, APBD, atau dana khusus apapun itu namanya, dimanfaatkan dengan lebih maksimal dan efisien untuk membiayai pengelolaan sampah secara modern atau berbasis teknologi?
Hanya karena Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan seperti dalam puisi Joko Pinurbo, bukan berarti penanganan masalah sampah tidak lebih penting dari penataan pariwisata.
Gak lucu kan, wisatawan terus yang dimanjakan tapi masyarakatnya sendiri kurang diperhatikan hak-haknya?
Jangan pula beralasan bahwa pengelolaan sampah yang canggih hanya bisa dilakukan oleh negara-negara maju yang anggaran untuk pengelolaan sampahnya sampai tumpeh-tumpeh.
Ini bukan melulu masalah uang, melainkan lebih kepada apakah ada itikad baik dan upaya serius untuk menyelesaikan persoalan sampah atau tidak. Tentu ini tanggung jawab bersama. Masyarakat juga wajib menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dan minim sampah.
Namun, yang punya akses dan kuasa untuk membuat kebijakan dan menggunakan APBD, Danais atau dana apapun untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang solid, siapa lagi kalau bukan pemerintah daerah yang bersangkutan?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mempertanyakan Komitmen Pemda dalam Penanganan Masalah Sampah di Yogyakarta"
Penulis : Luna Septalisa
Sumber : Kompasiana