Bagaimana Menentukan Persoalan Hak Cipta pada Foto Olahan Artificial Intelligence?
Opini kompasianer | 25 Juli 2023, 16:22 WIBKonten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.tv
JAKARTA, KOMPAS.TV - Kemampuan yang cukup mumpuni dan mudah untuk dipergunakan jadi alasan utama kenapa aplikasi edit foto populer, seperti Photoshop buatan Adobe, misalnya, acap digunakan para fotografer atau editor gambar. Walaupun aplikasi tersebut juga membutuhkan ruang penyimpanan yang cukup besar.
Kini, berkat kemajuan teknologi “kecerdasan buatan” alias Artificial Intelligence (AI), aplikasi tersebut mendapat saingan. Berbagai fungsi dasar yang amat diperlukan dalam menghasilkan foto yang bagus, mampu dilakukan AI.
Misalnya: mempertajam kualitas foto yang agak goyah alias blur, menghapus objek foto yang menganggu keberadaan foto utama, mengganti latar depan atau latar belakang dari foto yang ada, hingga termasuk memberi warna pada foto jadul yang masih hitam-putih. Dan banyak lagi yang lainnya.
Secara teknis itu adalah jenis kemampuan yang biasa dimiliki para editor kelas menengah, bukan lagi pemula. Dapat dibayangkan sendiri bagaimana jika teknologi AI semakin maju.
Tentu saja, keberadaan AI sangat menguntungkan bagi para awam edit foto. Cukup satu-dua klik dan pemahaman basic edit foto, maka foto dengan kualitas jempolan sudah bisa dihasilkan. Jika memakai fasilitas edit foto premium (berbayar), biasanya makin banyak fitur canggih lain yang bisa digunakan.
Kalau sudah begitu, siapa yang tidak tertarik dengan AI?
Konflik Hak Cipta
Perkaranya kemudian, teknologi AI yang cerdas dan menyenangkan seperti itu memiliki persoalan serius terkait hak cipta. Mari tengok dari sudut pandang lomba foto.
Kalau pada sesi lomba foto secara general biasanya ada “aturan umum” soal hasil foto seorang fotografer. Misalnya saja "editan minor" yang masih diperkenankan hanyalah sebatas cropping (pemotongan gambar sekitar 10-20 persen dari foto utuh).
Lalu ada pengaturan ulang dari cahaya dan warna (kecerahan dan kontras). Foto yang dianggap sama dengan mata manusia, bukan hasil tangkapan layar lensa (yang terkadang hasilnya tidak identik).
Nah, hasil karya semacam ini--pasca penyuntingan--masih bisa dianggap sebagai karya cipta seorang photographer. Lebih dari itu, maka dia adalah seorang photosopher (editor foto yang memanipulasi dari foto aslinya).
Penulis : hendra setiawan
Sumber : Kompasiana