> >

Jadilah Antirapuh, Sebab Mengejar Kebahagiaan Hanyalah Kesia-siaan

Opini kompasianer | 17 Juli 2023, 17:09 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.tv

Ilustrasi mengejar kebahagiaan (Sumber: Yuliya Harbachova via Pixabay)

"Dalam sebaran udara segar dan suburnya langit ini," tulis Albert Camus dalam novelnya A Happy Death, "kelihatannya satu-satunya tugas manusia dalam hidup adalah berbahagia."

Pernyataan tersebut terdengar manusiawi, sebab kita semua ingin bahagia. Namun, kebahagiaan itu juga begitu rapuh. Kita pun terobsesi untuk mencari jawabannya. Kini, untuk pertama kalinya, kita disuguhi aneka resep kebahagiaan berdasarkan begitu banyak penelitian, bukan sebatas spekulasi filosofis.

Persoalannya, kalau memang semua resep itu benar, mana yang cocok buat kita? Haruskah kita menghabiskan waktu seumur hidup untuk melakoni semua resep itu, atau cukup sebagian saja? Jawabannya sama: itu bakal sia-sia.

Di sini saya akan menunjukkan bahwa upaya untuk mengejar kebahagiaan lewat metode apa pun sebetulnya salah arah. Dengan kata lain, pengejaran kebahagiaan bukanlah jalan menuju kebahagiaan yang sebenarnya.

Paradoks Kebahagiaan

Kita kerap diajarkan untuk aktif mengejar kebahagiaan. Dalam industri self-help, misalnya, ada berbagai macam janji yang diklaim bakal mengantarkan kita menuju kebahagiaan. Namun, bukan begitu cara kerja kebahagiaan.

"Kebahagiaan pastilah terjadi," tulis Viktor Frankl dalam buku populernya Man's Search for Meaning, "dan hal ini juga berlaku pada kesuksesan: Anda harus membiarkannya terjadi dengan tak usah memedulikannya."

Immanuel Kant, filsuf Jerman terkemuka di Abad Pencerahan, sebetulnya sudah mendahului gagasan Frankl. Bagi Kant, pengejaran kebahagiaan pada dasarnya salah arah; makin orang mengejar kebahagiaan, makin mereka menjauh darinya.

Kebahagiaan bukanlah kebaikan yang murni, kata Kant. Tanpa karakter dan orientasi yang benar, tanpa rasa tanggung jawab dan sensitivitas moral yang tinggi, kebahagiaan hanyalah sebuah kondisi pikiran kebinatangan.

Jadi, Kant tak melihat pengejaran kebahagiaan sebagai tujuan utama dalam hidup, melainkan sebagai hasil sampingan dari menjalani kehidupan yang bermoral dan rasional.

Ringkasnya, jangan mengejar kebahagiaan, tapi buatlah diri kita layak untuk bahagia.

Gagasan tersebut punya pembenaran saintifik. Setidaknya dalam kurun 10 tahun terakhir, kita disuguhi banyak penelitian yang menunjukkan bahwa obsesi terhadap kebahagiaan justru bikin kita kurang puas pada kehidupan

Kesimpulan yang dicapai juga mirip-mirip: kita bakal lebih bahagia kalau berhenti fokus pada kebahagiaan, dan bahwa menerima emosi apa adanya akan memberi kita kesempatan yang lebih baik untuk membuka kebahagiaan sejati. 

Mengapa, secara paradoksal, mengejar kebahagiaan itu malah bikin kita makin tak bahagia? Saya meringkas sedikitnya tiga alasan.

Pertama, terus-menerus memerhatikan suasana hati bisa mencegah kita untuk menikmati kebahagiaan yang ada di depan mata. Ini karena kebahagiaan adalah emosi sesaat yang tak bisa kita alami sepanjang waktu.

Alhasil, saat kita hanya berfokus pada pencapaian kebahagiaan, kita jadi cenderung menyangkal segala emosi negatif, yang nantinya bikin kita merasa tak mampu untuk bahagia. Lantas, kita pun frustrasi serta kecewa, dan, sekali lagi, makin menjauh dari kebahagiaan.

Kedua, kita cenderung cepat beradaptasi dengan tingkat kesenangan yang baru, dan akhirnya kita juga cepat merasa biasa saja. Konsep ini biasa disebut "adaptasi hedonis": orang yang mengalami peristiwa positif bakal kembali ke tingkat dasar kebahagiaan.

Inilah mengapa, konon, seseorang yang memenangkan lotre milyaran rupiah dan seseorang yang mengalami kecelakaan sampai tubuhnya cacat permanen, setelah beberapa waktu singkat, tingkat kebahagiaan mereka kurang-lebih bakal setara.

Masing-masing mulai beradaptasi dengan nasibnya yang berubah, sehingga pada titik tertentu mereka sama-sama merasa biasa saja. Tapi lebih jauhnya, adaptasi hedonis juga bisa menjadi pengejaran yang tak berujung.

Ketika orang mendapati kebahagiaannya cepat memudar, mereka menginginkan lebih dengan menaikkan standar kebahagiaannya. Namun, mereka balik mengalami adaptasi hedonis, dan kini mereka jadi tak bisa menghargai kesenangan sehari-hari yang berarti buat hidup mereka.

Ketiga, kebahagiaan adalah hasil, bukan metode. Seperti yang kita lihat, manusia mencapai kebahagiaan bukan dengan cara mengejarnya, melainkan dengan mencari alasan untuk jadi bahagia.

Itu bekerja sebagaimana halnya tawa. Jika kita ingin orang tertawa, kita harus memberinya alasan. Menceritakan sebuah lelucon, misalnya. Muskil untuk mendesak atau menyuruh orang agar tertawa begitu saja.

Memerintahkan orang untuk tertawa sama saja seperti memaksa orang yang berpose di depan kamera supaya bilang "cheese". Alih-alih mendapati kesan natural yang memikat, kita hanya akan memperoleh wajah-wajah yang dibekukan oleh senyum buatan.

Gagasan untuk tak mengejar kebahagiaan bukan berarti kita harus sengsara atau pasrah pada hidup yang penuh nestapa, namun harus memperlakukan kebahagiaan sebagai hasil sampingan dari menjalani hidup yang bermakna dan memuaskan.

Kata Nietzsche: "Dia yang punya 'mengapa' untuk hidup dapat menanggung hampir semua 'bagaimana'." Ini berarti, andaikan kita memiliki alasan untuk hidup, kita bisa menanggung hampir semua beban yang muncul kemudian.

Dalam kerangka ini, ketimbang fokus mengejar kebahagiaan, saya menyarankan orang agar menjadi antirapuh (antifragile).

Jadilah Antifragile

Konsep antirapuh (antifragile) diperkenalkan oleh Nassib Nicholas Taleb dalam bukunya Antifragile: Things That Gain from Disorder. Ide di balik buku ini, meski penyampaiannya agak berat dan tak koheren (mungkin disengaja), sebenarnya sederhana dan menarik.

Taleb membagi dunia dan semua yang ada di dalamnya jadi tiga kategori: rapuh, kokoh, dan antirapuh.

Sistem yang rapuh adalah sistem yang mudah rusak atau hancur akibat tekanan tertentu. Karenanya, orang dapat disebut rapuh kalau mereka menghindari kekacauan dan gangguan. Mereka mengira itu lebih aman, tapi sebetulnya itu hanya bikin mereka lebih rentan.

Sistem yang kokoh adalah sistem yang mampu bertahan dari tekanan atau guncangan tanpa mengalami kerusakan. Orang dapat disebut kokoh kalau mereka bisa bertahan menghadapi gejolak tertentu tanpa mengubah jati dirinya.

Sistem yang antirapuh melampaui kekokohan. Jika orang kokoh mampu menahan tekanan dan menjaga stabilitas dirinya, orang yang antirapuh atau antifragile justru memanfaatkan tekanan-tekanan tersebut untuk keuntungan dan pertumbuhan dirinya.

Demikianlah, sistem yang antifragile adalah sistem yang tak hanya tahan terhadap guncangan atau rintangan, tapi juga berkembang dan jadi lebih kuat karenanya. Alhasil, orang (atau apa pun sebenarnya) jadi lebih mampu beradaptasi dengan setiap tantangan baru.

Ini masih sejalan dengan perkataan lain Nietzsche: "Apa yang tak membunuh kita membuat kita lebih kuat."

Taleb berpendapat, kita harus berusaha menjadikan kehidupan publik dan pribadi kita (sistem politik, keuangan, dan seterusnya) tak hanya kokoh, tapi sekaligus antirapuh, siap untuk mengambil keuntungan dari berbagai tekanan dan perubahan.

Saya teringat Hydra dalam mitologi Yunani. Konon, ketika salah satu kepala Hydra dipotong, dua kepala lainnya bakal tumbuh tepat di mana kepalanya dipotong. Ini membuatnya (nyaris) mustahil untuk dikalahkan, dan saya kira inilah contoh antifragile.

Contoh lainnya yang lebih sederhana adalah tubuh kita sendiri. Tubuh manusia memiliki sifat antifragile, sebab stressor, ketidakpastian, votalitas, hingga batas tertentu, bisa meningkatkan kesehatan tubuh.

Ketika kita berolahraga seperti angkat beban atau jogging, tubuh kita menerima tekanan yang sebenarnya bikin tubuh jadi lebih kuat. Ini juga mirip seperti vaksinasi di mana tubuh kita dikenalkan pada kuman yang dilemahkan, dan itu bikin tubuh kita tambah kebal.

Sifat antirapuh ini penting terutama agar kita dapat bertahan dalam dunia yang serba berubah dan tak pasti seperti sekarang. Mereka yang coba mempertahankan identitas atau pekerjaan tertentu di abad ini sangat berisiko tertinggal.

Dengan begitu, lebih baik jika kita memiliki sifat antifragile, yang artinya siap menghadapi keadaan apa pun, ketimbang berusaha mengetahui masa depan dan berisiko besar jadi korban prediksi yang keliru. Dunia sudah mulai sulit untuk ditebak.

Kita mesti belajar menerima kegagalan sebagai kesempatan untuk tumbuh, serta menghadapi setiap tantangan dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru.

Istirahat jelas perlu untuk membangun ketahanan dan meredakan kelelahan (saya tambahkan bahwa ini juga merupakan bagian dari kerja keras), dan begitu pula dengan kekuatan mental serta rasa tenang dalam menghadapi kesulitan.

Ketika kita jadi antirapuh, dalam artian kita tumbuh setiap kali kita berhasil memecahkan masalah atau berkembang seiring terbiasanya kita mengatasi aneka rintangan yang muncul, saya percaya bahwa kebahagiaan dengan sendirinya bakal menyertai kita.

Siapa sangka bahwa pepatah lama masih bisa sangat berguna:

"Bersiaplah untuk yang terburuk, berharaplah untuk yang terbaik, dan jangan kaget dengan segala sesuatu yang ada di antaranya."

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ingin Bahagia? Jangan Mengejar Kebahagiaan, Jadilah Antirapuh"

Penulis : Muhammad Andi Firmansyah

Sumber : Kompasiana


TERBARU