Suatu Hari di "Surga Kecil"
Opini | 4 Juni 2023, 20:16 WIBTidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajak umatnya untuk menyebarkan dan melakukan kekerasan. Bila ternyata ada, yang salah bukanlah agamanya, tetapi bisa saja orang yang ada di dalamnya memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya.
Namun, harus diakui bahwa pada suatu masa, “surga kecil” yang luasnya sekitar enam kali Pulau Jawa dengan sekitar 300 suku itu kehilangan sentuhan kemanusiaan. Manusia dan kemanusiaan, kurang mendapat perhatian.
Pada ketika itu, politik kekuasaan mendominasi atau bahkan satu-satunya yang hidup. Manusia dan kemanusiannya kurang (tidak) terawat. Maka di “surga kecil” itu laksana sebidang lahan “tumbuh onak dan duri, semak-belukar.”
Dalam Jurnal Kajian Lemhanas (edisi 37, Maret 2019) Laksamana Muda TNI (Purn.) Untung Suropati menulis setidaknya terdapat lima isu strategis yang menjadi akar masalah Papua, yaitu sejarah integrasi Papua ke Indonesia; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; kegagalan pembangunan Papua; inkonsistensi kebijakan Jakarta; dan strategi penanggulangan gangguan keamanan.
Sejak Papua dibebaskan dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi tanggal 1 Mei 1963, sejarah integrasi Papua terus dipersoalkan oleh kelompok nasionalis Papua.
Mereka menganggap proses integrasi Papua ke Indonesia tidak sah karena penuh rekayasa. Anggapan tersebut tentu tidak terlepas dari intrik politik kekuasaan selama proses dekolonisasi berlangsung sejak Konferensi Meja Bundar (KMB), 23 Agustus-2 November 1949.
Seringnya terjadi kekerasan politik dan pelanggaran HAM disebabkan kebijakan Orde Baru yang cenderung mengesampingkan pendekatan persuasif, sebaliknya mengedepankan tindakan represif.
Kegagalan pembangunan Papua dipicu banyak faktor, antara lain kebijakan Orde Baru yang justru membuat rakyat Papua terpinggirkan.
Selain itu, pengaruh kapitalisme internasional yang ujung-ujungnya eksploitasi kekayaan alam Papua.
Inkonsistensi kebijakan Jakarta, khususnya terkait implementasi Otonomi Khusus (Otsus) terutama pada masa-masa pemerintahan pasca-reformasi, juga menjadi masalah.
Strategi penanggulangan gangguan keamanan, khususnya aksi kekerasan yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dinilai tidak efektif karena strategi yang diterapkan kurang mempertimbangkan kondisi psikologis dan aspek sosial-budaya masyarakat setempat.
***
Akibat kebijakan yang kurang pas (tidak tepat) tersebut, masyarakat Papua mengalami ketertinggalan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan serta tentu keadilan. Karena semua itu, perdamaian jauh dari “surga kecil” itu.
Dalam situasi seperti itu, Gereja Katolik Papua, misalnya, terus mengupayakan terciptanya situasi damai sehingga pembangunan masyarakat bisa berlangsung.
Gereja melihat dan berkeyakinan bahwa penyelesaian masalah Papua paling tepat adalah dengan pendekatan budaya; budaya kasih; budaya memanusiakan manusia.
Berbagai upaya dapat dilakukan baik pelayanan internal maupun eksternal, di mana Gereja Katolik berperan membangun kerja sama dengan gereja lain maupun agama lain untuk bersama-sama memperjuangkan tercipta perdamaian.
Gereja Katolik juga membangun pendekatan, komunikasi, kerja sama, dan jaringan dengan masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat dalam berbagai bidang.
Dalam bahasa Ferry Sutrisna Wijaya (2023), Gereja Katolik terus “belajar mencintai Papua.” Kita pun, harus belajar mencintai Papua.
Jadi tidak hanya disejahterakan dengan pembangunan fisik, tapi sentuhan hati. Untuk bisa menyentuh hati mereka, perlu mengenalnya; setelah mengenal baru mencintainya. Tanpa mencintainya, tak mungkin menyelesaikan masalah Papua yang sudah telanjur rumit.
Kata pepatah, Amor vincit omnia, cinta mengalahkan semuanya. Kasih berdaya membawa perubahan di level sosial.
Kegiatan-kegiatan kemanusiaan akan lebih maksimal terasa manfaatnya ketika berkolaborasi dengan pemberdayaan. Karena pemberdayaan adalah perpaduan antara membuat cerdas, terampil, dan termotivasi ke arah membangun sebuah kondisi lebih sejahtera.
Itulah yang dilakukan Mensos Tri Rismaharini. Ia memilih jalan lain; jalan hati, jalan belas kasih. Mensos tahu sepenuhnya yang dilakukan Gereja.
Maka Mensos berpendapat, saat ini, Gereja lah “jalan lurus” untuk menyalurkan segala macam bantuan. Karena Gereja ibarat “talang air” yang tidak bocor; maka air mengalir sepenuhnya sampai tujuan.
Dan, Mensos datang ke berbagai wilayah di Papua tidak dengan kekuatan dan kekuasaan. Tapi, dengan hati yang terbuka menerima mereka; dengan kedua telinga mendengar keluhan, permintaan, dan tuntutan mereka; dengan kedua tangan memeluk mereka; dengan senyum dan tawa bersama mereka.
Kata Presiden Jokowi, rakyat Papua butuh didengarkan, diajak berbicara.
Ia ingin “surga kecil” itu benar-benar memberikan kedamaian karena kebutuhan dasar mereka terpenuhi.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV