Noblesse Oblige
Opini | 19 Januari 2023, 17:41 WIBSuatu hari, tahun berapa saya sudah lupa, di kantor redaksi Kompas, untuk pertama kalinya saya mendengar ungkapan “noblesse oblige.” Pak Jakob Oetama, pemimpin harian Kompas-lah yang mengatakan.
Setelah itu, berkali-kali saya mendengar ungkapan tersebut. Ungkapan “noblesse oblige” dipungut dari bahasa Prancis. Secara sederhana ungkapan itu berarti “nama yang luhur mengandung tanggung jawab yang luhur pula.”
Seorang pemimpin–entah itu pemimpin negara, lembaga-lembaga negara, partai politik, masyarakat, agama, maupun organisasi kemasyarakatan–adalah noble man. Karena gagasan tindakannya yang (seyogyanya) sarat pengabdian dan penuh ketulusan, bukan karena keturunan atau statusnya secara genealogis.
Itulah noblesse oblige, keningratan yang memberinya kewajiban. Pendek kata, setiap jabatan atau kedudukan dalam dirinya terkandung tanggung jawab. Kekuasaan mendatangkan tanggung jawab.
Dengan kata lain, setiap pemimpin (pemimpin apa pun) atau tokoh masyarakat, harus mempertanggungjawabkan keluhurannya itu. Yakni, baik dalam ucapan maupun tindakannya. Itulah dimensi sosial dan etika dari suatu jabatan.
***
Martabat atau harga diri seseorang selalu dikaitkan dengan sifat rasa kemanusiaan. Yakni sikap diri yang selalu mengutamakan perilaku kemanusiaan (kamanungsan) dalam memperlakukan orang lain; dalam berhubungan dengan orang lain.
Bila sudah tidak mampu lagi memposisikan diri dalam berhubungan dengan orang lain, juga tidak baik dalam memperlakukan orang lain–misalnya di dalam budaya masyarakat Jawa–disebut sebagai sudah tidak lagi memiliki martabat, tak memiliki harga diri.
Bila demikian, maka lalu (sekali lagi dalam budaya Jawa, misalnya) dianggap sebagai “wis ilang kamanungsane” atau _“dudu manungsa maneh” atau lebih khusus lagi “wis ilang jawane”_ atau “ora njawani.”
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV