Sahabatku, Muhammadiyah
Opini | 20 November 2022, 16:00 WIBBaca Juga: Dua Kali jadi Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir: Sejengkal Didepankan dan Seiinci Ditinggikan
Republik ini meraih kemerdekaan dan mampu berdiri tegak di atas pilar kebhinekaan berkat persatuan. Persatuan menjadi spirit perjuangan kolektif para pendiri bangsa, bukan sekadar untuk melawan kolonialisme yang brutal, melainkan juga untuk membentuk negara Indonesia.
Yudi Latief mengibaratkan, Indonesia layaknya sebuah rumah besar yang diisi dengan berbagai warna-warni. Rumah besar ini jika di dalamnya saling berkelahi maka tidak akan bisa menghasilkan apa-apa dan bahkan bisa merusak rumah itu. Tetapi jika bersatu, kompak, gotong royong maka akan menghasilkan berbagai prestasi yang membangggakan.
Akan tetapi, mengupayakan persatuan masyarakat plural seperti Indonesia bukanlah perkara yang mudah. Apalagi, ditambah ada yang sengaja menghalang-halangi persatuan itu.
Maka, kata Yudi Latief, sejak awal berdirinya republik ini, para pendiri bangsa menyadari sepenuhnya bahwa proses nation building merupakan agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan. Dan itu, harus dilakukan sampai sekarang ini.
Dengan mengutip pendapat Ernest Renan (1823-1892) filsuf, sejarawan, dan cendikiawan agama asal Perancis, Bung Karno mengatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa. Satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar.
Kebangsaan tidak tergantung pada persamaan bahasa, meski dengan adanya bahasa persatuan, bisa memperkuat rasa kebangsaan. Lalu apa yang mengikat sebuah bangsa benar-benar bararti satu jiwa?
Kata Bung Karno, mengutip Ernest Renan, yang menjadi pengikat itu adalah kehendak untuk hidup bersama, le desir d’etre ensemble. Kehendak hidup bersama itulah yang dahulu ditekati oleh para Bapak Bangsa, sejak Sumpah Pemuda (1928) dan dipuncaki dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
***
Apa yang disampaikan Sukidi itu, memang sudah terlebih dahulu disampaikan baik lewat ucapan maupun tulisan, bahkan berkali-kali dikatakan dengan kesungguhan dan ketulusan hati, olek gurunya yang juga Guru Bangsa ini: Buya Syafii Maarif (alm).
Meskipun demikian, Indonesia majemuk itu perlu dan harus terus dan terus diingatkan. Sebab, ada saja yang berusaha mengaburkan, melupakan, tidak mengakui kemajemukan itu.
Padahal, hal tersebut benar-benar mengingkari kenyataan kemajemukan, pluralitas Indonesia. Tanpa kemajemukan–suku, agama, ras, etnik, budaya, bahasa, dan sebagainya–bukanlah Indonesia.
Buya Syafii (1935-2022), Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005, bagi saya adalah tokoh besar Muhammadiyah. Ia adalah mata-air keteladanan dalam banyak hal, baik kejujuran, kesederhanaan, sikap hidup, persaudaraan, penjunjung tinggi keragaman, pluralitas, tindakan nyata dan berbagai hal kebaikan lainnya.
Baca Juga: Momen Presiden Jokowi Buka Kegiatan Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Solo, Jawa Tengah
Sikap persaudaraan itu sungguh saya rasakan. Sikap persaudaraan seperti itu juga saya rasakan dari tokoh Muhammadiyah yang lain, Abdillah Toha. Ia selalu mengatakan apa adanya tentang seseorang, sekalipun terhadap orang yang didukungnya, tanpa “topeng” kepalsuan dengan aksi sekadar sensasi, seperti yang banyak dilakukan oleh mereka yang menokohkan diri, yang suka menebarkan pesona demi gengsi dan demi kuasa.
Di zaman kini, tidak mudah mencari tokoh seperti mereka. Tokoh yang berintegritas; yang melakukan suatu tindakan sesuai dengan yang diucapkannya. Dengan perkataan lain, integritas adalah satunya kata dengan perbuatan. Integritas di zaman ini menyiratkan keadaan moralitas yang lurus. Tokoh seperti ini, segala ucapan dan tindakannya pantas didengarkan serta ditiru.
Selamat bermuktamar ke-48, Muhammadiyah…
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV