Medsos dan Kemenangan Bongbong
Opini | 13 Mei 2022, 15:32 WIBoleh Trias Kuncahyono, jurnalis harian Kompas
JAKARTA, KOMPAS.TV- Kemenangan Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr, dalam pemilu presiden 9 Mei lalu di Filipina menarik perhatian, sekaligus meninggalkan setumpuk pertanyaan bagi banyak orang. Meskipun hasil berbagai survei menjelang pemilu menunjukkan dia unggul.
Maka, hampir 40 tahun setelah jatuhnya diktator Ferdinand Marcos Sr, kini Filipina seperti menulis sejarah baru.
Apakah rakyat Filipina sudah memaafkan (mengampuni) “dosa-dosa” ayahnya, Ferdinand Marcos Sr? Marcos yang menggenggam kekuasaan Filipina selama 21 tahun (1965-1986) dikenal sebagai diktator kejam, brutal, dan karena kekayaan haram besar yang dikumpulkan oleh keluarga Marcos dan kroni-kroninya, rezim Marcos disebut kleptokrasi (dari kata Yunani untuk pencuri dan penguasa).
Selama berkuasa, demi mempertahankan kekuasaannya, Marcos Sr tidak hanya menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara kejam (mis. Senator Benigno “Ninoy” Aquino pada tahun 1984 ditembak di bandara sepulang dari AS). Ia juga memberlakukan undang-undang darurat mulai 22 September 1972 hingga 1981. Setelah 1981, meski secara resmi undang-undang darurat sudah tidak diberlakukan, Marcos tetap memertahankan kekuasaan hukum undang-undang darurat sampai ia digulingkan tahun 1986.
Maka, pemerintahannya pun lalu dicap sebagsi “otoritarianisme konstitusional” (constitutional authoritarianism) atau juga disebut authoritarian constitutionalism (Foreign Affairs, April 1974). Kekuasaan diktatorial itu–yang didukung militer–dilakukan lewat partainya Kilusang Bagong Lipunan atau Gerakan Masyarakat Baru (Asian Geographic, 22 April 2021).
Dengan kekuasaannya itu, ia menjebloskan tak kurang dari 600 lawan politiknya ke penjara militer dan 246 pastor dan biarawati Katolik. Ia menuduh Gereja Katolik menggunakan stasion radio dan selebaran untuk melakukan subversi (The New York Times, 6 November 1977).
Marcos juga disebut sebagai penguasa yang korup dan ekstravagansa. Ia mampu menggunakan posisinya sebagai presiden untuk menjadi salah satu pencuri terbesar dalam sejarah negerinya. Diperkirakan Marcos mencuri setidaknya 10 miliar dollar AS. Korupsi di bawah rezim Marcos dilakukan dengan cara mulai dari mencatut bantuan asing dan militer hingga membangun sistem kapitalisme kroni domestik. Ia dan kroninya melakukan pencucian uang. Yurisdiksi pencucian uang yang disukai untuk Marcos termasuk Swiss dan Liechtenstein (David Chaikin dan JC Sharman, 2009).
Menurut putusan Mahkamah Agung (2003), aset yang dianggap haram termasuk kekayaan Marcos yang melebihi total pendapatan legal mereka dari tahun 1965 hingga 1986. Hampir 30 tahun sejak pembentukannya tahun 1986, Presidential Commission on Good Government (PCGG) telah berhasil menyita 167,5 miliar peso, atau sekitar 4 miliar dollar AS, kurang dari setengah dari 10 miliar dollar AS yang diyakini telah dikumpulkan oleh Marcos (Inquirer.net, 29 September 2014).
Masih banyak cerita lainnya berkait dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh Marcos dan kroninya. Semua itu berakhir pada Februari 1986, ketika pecah Revolusi Kekuatan Rakyat (People Power Revolution). Ia jatuh; melarikan diri, meninggal di pengasingan, 1989. Namun, ternyata hampir 40 tahun kemudian dinasti mereka masih hidup bahkan merebut kekuasaan kembali.
Apakah rakyat Filipina telah mengapus “dosa-dosa” Marcos dan kroninya sehingga kemarin memilih Bongbong sebagai presiden ke-17 Filipina? Apakah rakyat Filipina mudah lupa atau mudah melupakan tragedi yang mereka alami? Atau ada sebab-sebab lain?
Misalnya, memang Bongbong layak dan pantas untuk dipilih memimpin negeri yang kini menghadapi berbagai persoalan mulai dari kemiskinan (lebih dari 16 persen hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 17,6 juta jiwa), politik dinasti, korupsi (di birokrasi dan korupsi di pemerintahan, ditambah nepotisme), pembelian suara (dalam pemilu dan kasus-kasus lain), pelaksanaan hukum, hingga extrajudicial killings (terutama di zaman pemerintahan Presiden Rodrigo Dutarte yang akan segera berakhir ini).
Menurut angka resmi pemerintah, anggota Polisi Nasional Filipina dan Badan Penegakan Narkoba Filipina membunuh 5.903 orang selama operasi anti-narkoba dari 1 Juli 2016 hingga 30 September 2020.
Jumlah ini tidak termasuk mereka yang dibunuh oleh orang tak dikenal, yang oleh Human Rights Watch dan pemantau HAM lainnya adalah mereka bekerja sama dengan polisi dan pejabat setempat. Sumber lain, seperti Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB, menyebutkan jumlah korban tewas 8.663, meskipun kelompok HAM domestik, termasuk Komisi HAM pemerintah, percaya angka sebenarnya bisa tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan dalam OHCHR (Human Right Watch, World Report 2021)
Media Sosial
Menurut data Komisi Pemilu (Commission on Elections/Comelec) jumlah pemilih yang terdaftar 65,7 juta orang (The Filipino Times, 11 November 2021). Dari jumlah pemilih sebanyak itu, lebih dari 37 juta pemilih (56 persen) berusia antara 18-41 tahun, dan lima juta di antaranya baru pertama kali memilih (Nikkei Asia, 7 Mei 2022). Yang menarik, menurut Comelec, mereka yang baru pertama kali memilih, 4.094.614 di antaranya adalah perempuan. Usia mereka antara 18 hingga 21 tahun.
Mereka ini yang mendukung kampanye-kampanye Bongbong. Sebagian besar dari mereka lahir setelah rezim diktator Marcos berakhir (1986). Artinya tidak mengalami zaman pemerintahan Marcos yang otoriter, yang menurut Amnesti Internasional selama undang-undang darurat, memenjarakan 70.000 orang, menyiksa 34.000 orang, dan lebih dari 3.200 orang tewas selama itu.
Tetapi pemerintah hanya mengakui 11.103 korban, meskipun pada tahun 2013 telah mengesahkan Human Rights Victims Reparation and Recognition Act, sebuah undang-undang yang belum pernah ada di Asia untuk meminta pertanggungjawaban negara atas pelanggarannya (Kyodo News, 8 Maret 2022; CIPE/Center for International for Private Interprise, 20 April 2022).
Selain, generasi muda itu tidak mengetahui apalagi mengalami zaman Marcos, mereka sekarang hidup di zaman media sosial. Media sosial memainkan peran sangat penting dan pengaruhnya pun sangat besar. Para propagandis Bongbong Marcos Jr menggunakan media sosial untuk membersihkan sejarah, tujuannya untuk memberikan “penghargaan baru” terhadap Marcos Sr (Kyodo News, 8 Maret 2022).
Kampanye lewat sosial media untuk me-rebranding era Marcos Sr—bukan sebagai periode darurat militer, dengan pelanggaran HAM yang mengerikan, korupsi parah, penjarahan kas negara, dan hampir keruntuhan ekonomi, tetapi sebagai zaman keemasan (golden age) kemakmuran, bebas kejahatan, zaman kebebasan (BBC, 10 Mei 2022; gmanetwork.com, 23 Maret 2022). Mereka beranggapan bahwa penggulingan Marcos Sr. adalah sebuah kesalahan. Karena, Marcos Sr. mampu membuat Filipina lebih baik.
Kampanye tersebut dimulai setidaknya satu dekade yang lalu. Mereka mengedit ratusan video lalu diunggah ke Youtube, yang kemudian diposting ulang di halaman Facebook.
Ini meyakinkan jutaan orang Filipina bahwa fitnah terhadap keluarga Marcos setelah kejatuhan mereka tidak adil, bahwa kisah-kisah keserakahan yang tak tertandingi itu tidak benar.
“Ada spektrum kebohongan dan distorsi dalam video-video ini,” kata Fatima Gaw dari Departemen Riset Komunikasi Universitas Filipina. Tetapi, sebaliknya Bongbong mengatakan, bahwa keluarganya menjadi korban informasi tidak benar.
Informasi yang mengagungkan Marcos Sr. dan mendukung Marcos Jr. membanjiri Facebook, YouTube, TikTok, dan Twitter menjelang Pemilu 9 Mei lalu. Media sosial juga digunakan untuk menghantam kandidat lain dengan informasi yang salah atau palsu.
Dengan kata lain, media sosial memainkan peran sangat penting dan pengaruhnya besar. Salah satu yang menjadi “medan pertempuran” adalah Facebook, platform yang sangat popular di Filipina dan digunakan oleh sebagian besar dari pengguna internet.
Kata Jonathan Corpus Ong (gmanetwork.com) seorang periset disinformasi di Universitas Massachusetts dan Harvard, kekuatan media sosial Bongbong Marcos Jr. adalah hasil dari “investasi jangka panjang” untuk merehabilitasi brand keluarga.
CIPE menyatakan, keluarga Marcos dan pendukungnya berhasil memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan berita palsu, memungkinkan Marcos Jr. kembali ke panggung politik. Media sosial memanfaatkan lembaga demokrasi Filipina yang lemah, untuk mendukung Marcos Jr. dalam memulihkan dinastinya.
Perusahaan induk Facebook, Meta, telah menghapus hingga 400 akun dari Filipina yang terlibat dalam aktivitas jahat menjelang pemilu. Tetapi hal itu tidak cukup. Karena, ada ribuan lainnya di antara 91.000 pengguna di Filipina pada pertengahan 2021.
Menurut survey “We are Social” (2021) ada 73,91 juta pengguna internet di Filipina. Temuan lain mengungkapkan, ada 89 juta pengguna media sosial di Filipina pada tahun 2021, meningkat 22 persen dari tahun 2020.
Jumlah pengguna media sosial di Filipina setara dengan 80,7 persen dari total populasi. Perbedaan antara pengguna internet dan pengguna media sosial menyiratkan bahwa banyak orang Filipina memiliki banyak akun media sosial. Bagi peneliti digital, ini mungkin berarti bahwa beberapa pengguna terlibat dalam perilaku seperti troll atau beberapa akun media sosial palsu dan/atau bukan manusia atau bot (Aries A Arugay, ISEAS Perspective 2022/33, 7 April 2022).
Kata Japhet Quitson (www.csis.org, 22 November 2021), sosial media adalah kekuatan fundamendal dalam masyarakat Filipina. Menggunakan sosial media adalah cara yang nyaman untuk mengetahui informasi dan mudah diakses, terutama karena konektivitas internet seringkali lambat dan tidak dapat diandalkan.
Aksesibilitas media sosial menjadikannya platform utama untuk mempengaruhi opini publik. Akibatnya, aktor politik rela melakukan apa saja untuk menarik perhatian publik.
Lebih dari 90 persen orang Filipina yang memiliki akses ke internet menggunakan media sosial. Facebook dan YouTube mendominasi negara: pada tahun 2021, sekitar 81 persen penduduk Filipina menggunakan Facebook; 85 persen orang yang memiliki akses internet menonton YouTube.
Rata-rata pengguna internet Filipina menghabiskan hampir empat jam di media sosial setiap hari. Bagi sebagian orang Filipina, Facebook adalah satu-satunya sumber berita mereka. Penduduk di kawasan miskin di sekitar Manila, yang mungkin tidak memiliki listrik, TV atau radio, mereka tetap memiliki telepon genggam.
Sebenarnya Bongbong Marcos Jr. kata Aries A. Arugay, mengulang yang dilakukan Rodrigo Dutarte pada Pemilu 2016. Pilpres 2016 secara luas dianggap sebagai “pemilihan media sosial” arus utama pertama di Filipina.
Duterte memenangi pilpres atas bantuan “pasukan” media sosial. Pakar politik Filipina mengaitkan kemenangan itu dengan penggunaan media sosial yang cerdas oleh kampanye Duterte hingga menyebarkan berita palsu.
Namun, ia mengatakan bahwa kemenangan Duterte semata-mata karena strategi media sosialnya yang cerdas, melebih-lebihkan kekuatan manipulasi virtual selama waktu itu dan mengabaikan hubungan simbiosis antara semangat online dan mobilisasi politik akar rumput (Rappler, January 28, 2021).
Filipina juga merupakan negara teratas di mana responden mengakui bahwa mereka mengikuti influencer media sosial. Rata-rata di tingkat global hanya 22,1 persen menggunakan influencer sebagai sumber informasi utama, sementara di Filipina 51,7 persen responden, bahkan tentang politik dan pemilu.
Kata Camille Elemia (Rappler, 27 Februari 2021) ketergantungan pada influencer ini mengungkapkan bahwa orang Filipina lebih menghargai kepribadian dan individu daripada institusi yang sah seperti media, akademisi, dan bahkan organisasi masyarakat sipil sebagai perantara media sosial mereka.
Tanpa standar verifikasi pemeriksaan yang tepat dan tanpa reputasi yang kredibel, akses yang diberikan kepada influencer untuk menghasilkan konten telah semakin berkontribusi pada penyebaran disinformasi.
Inilah yang secara “cerdik” tahun 2016 digunakan Dutarte, dan kini oleh Bongbong Marcos Jr. Karena itu, Bongbong Marcos Jr. menolak debat di TV dan juga tidak mau diwanwancara media terutama arus utama yang menentangnya saat menjelang pemilu.
Faktor Lain
Faktor lain yang memberikan sumbangkan kemenangan telak Bongbong Marcos Jr. adalah bersatunya dua dinasti—Marcos dan Dutarte—yang memiliki pengaruh kuat dalam politik. Dinasti Marcos menguasai wilayah Ilocos, Filipina Utara—Propinsi Ilocos Norte, Ilocos Sur, Pangasinan, dan La Union serta Cagayan Valley (Batanes, Cagayan, Isabela, Nueva Vizcaya, dan Quirino). Bongbong juga mendapat dukungan dari wilayah tengah, Leyte.
Sementara Dinasti Dutarte (yang menempatkan Sara Dutarte sebagai wakil presiden adalah walikota Davao City, 2010-2013 dan 2016-2022) menguasai wilayah Filipina Selatan, Mindano.
Bongbong juga pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur dan Gubernur Ilocos Norte (dua kali), Filipina Utara dan anggota Kongres mewakili Ilocos Norte, propinsi pendukung utama Dinasti Marcos.
Dengan kata lain, sentimen daerah, kewilayahan memberikan sumbangan besar bagi kemenangan keduanya.
Slogan yang diusung Bongbong Marcos Jr juga menarik rakyat yang sejak Revolusi 1986, belum benar-benar menikmati janji revolusi yakni terciptanya kehidupan yang lebih baik, tiadanya korupsi, kemiskinan, tegaknya hukum dan demokrasi, terciptanya kesejahteraan, tidak ada lagi dominasi dinasti-dinasti, pemerataan (Philippine Daily Inquire, 27 Februari 2020).
Maka Bongbong Marcos Jr mengusung slogan “Bersama Kita akan Bangkit Kembali” sambil mengingatkan bahwa zaman ayahnya, Ferdinand Marcos Sr, Filipina menikmati golden era (meskipun ada yang mengartikan golden era itu hanya bagi keluarga Marcos dan bukannya bagi rakyat Filipina). Mirip seperti di sini, muncul slogan “Enak Jamanku To.”
Maka rakyat, tidak lagi memersoalan undang-undang darurat, pelanggaran HAM, korupsi, kroniisme, dan sebagainya yang terjadi di masa lalu (atau juga di pelanggaran HAM di zaman Dutarte), melainkan lebih fokus pada bagaimana mendapatkan pekerjaan terutama di masa pasca pandemi Covid.
Kaum muda mencari solusi inovatif keluar dari jerat akibat pandemi. Dan, Bongbong Marcos Jr. meski dalam dirinya melekat noda hitam ayahnya, tetapi menawarkan pemerintahan baru dengan tata kelola yang baik, keberlanjutan dan inklusi, pendidikan, perawatan kesehatan, dan layanan sosial. Meski semua itu masih harus dibuktikan.
Jadi, benar yang dikatakan mantan Presiden Fidel Ramos (manilastandard.net, 25 Februari 2021) saat ulang tahun ke-35 Revolusi Kekuatan Rakyat, “Nasib bangsa kita masih belum pasti, tetapi sejarahnya adalah bukti bahwa kita selalu berhasil mencapai aspirasi bersama ketika kita bekerja bersama.”
Maka, Bongbong Marcos Jr pun mengusung slogan “Bersama Kita akan Bangkit Kembali.” Dan, rakyat Filipina lupa tragedi kemanusiaan di Zaman Marcos Sr. ***
*Artikel ini sudah diterbitkan harian Kompas, hari Jumat, 13 Mei 2022
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : Kompas TV