> >

Gesekan Dalam Sarung Koalisi Campur Sari

Opini | 4 Februari 2022, 13:56 WIB
Di banyak daerah, duet kepala daerah –gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil bupati– sudah berantakan ketika rakyatnya belum menikmati buah prestasi (Sumber:Kompas.com-)

Ajaran dasar demokrasi yang memberi ruang lega bagi persamaan dan kebebasan yang otonom untuk memilih dan dipilih justru dimanfaatkan dengan murahan. Tidak elegan. Menjauhi keadaban politik. Hanya pamer nafsu berkuasa. Hanya menfaatkan peraturan yang tidak melarang suami-istri gantian menjadi kepala daerah.    

Baca Juga: KPU Usulkan Pemungutan Suara Pemilu Dilaksanakan Awal Tahun Supaya Pilkada Serentak Lebih Siap

Dalam bahasa lain dapat dikatakan –dari pengalaman sejumlah duet “orang nomor 1 dengan orang nomor 2” di Jawa Timur yang patah kongsi sebelum bulan madu berakhir– relasi kepala daerah dengan wakil kepala daerah tidak sepenuhnya didasari komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang efektif. 

Kesan yang dapat dipahami ialah motif sharing insidental demi meraih kekuasaan sebagai orang nomor satu di pemerintah daerah.

Potret koalisi parpol pengusung calon duet kepala daerah dan wakil kepala daerah pun juga sangat rapuh. Sebab motif parpol berkoalisi amatlah fragmatis. Dengan cara apa pun yang penting bisa mendapatkan bagian dari kue kekuasaan. Ketika motif demikian yang menebal sering masuk koalisi hanya dengan satu kaki. 

Satu kaki ada di koalisi yang diharapkan menang dalam kompetisi politik seperti pilpres. Satu kaki lainnya menunggu di luar. Kaki yang di luar bisa bergerak ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang. Jaga-jaga.  Jika koalisi gagal menang, dalam sekejap kaki yang nunggu di luar, meminjam lagu Mulan Jameela  “sudah hijrah ke lain hati.”  Koalisi seperti inilah yang disebut relasi rujak sentul dalam koalisi campur sari. 

Padahal seharusnya komitmen koalisi bermula dari kompromi. Tidak saling menonjolkan perbedaan. Yang diutamakan simpul-simpul  persamaan. Kalau pun tidak tercapai kompromi, tenggang rasa perlu diutamakan. 

Ketika Natsir gagal mencapai kompromi dengan Bung Karno yang mengakibatkan Partai Masyumi dibubarkan, dia tetap dapat mengendalikan emosinya. Dengan tetap santun bin etis, Natsir hanya berujar, ’’kami sepakat untuk tidak sepakat.’’ Tak menyakiti lawan politiknya. Tanpa aksi-aksi yang menyulut anarki. Tidak sampai seperti di Bojonegoro September 2021 lalu. Gara-gara chat WA, wakil bupati melaporkan bupatinya ke polisi.Entah siapa yang dianggap dalam chat WA itu.

Lantas, siapa yang bisa bilang kalau relasi rujak sentul dalam koalisi campur efektif menopang jalannya pemerintahan, termasuk di daerah kabupaten-kota di tanah air ini? 

Relasi "Rujak Sentul"  
Relasi (hubungan) kepala daerah-wakil kepala daerah di era desentralisasi ibarat “rujak sentul.” Baik Pemilukada 2000 – 2005 di bawah rambu-rambu UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah maupun Pemilukada 2005 – 2010 dengan payung UU No 32/2004 dan Pilkada setelahnya dengan payung UU No 23/2014 belum menghasilkan duet kokoh “orang nomor 1 dann orang nomor 2” yang kokoh untuk mengayuh dayung bersama dalam satu perahu yang sama.  

Usai menang Pilkada pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah masih tampak rukun harmonis. Mereka masih menikmati bulan madu. Babak berikutnya ketika pembagian tugas dan kewenangan harus dilaksanakan, mulailah terjadi gesekan dalam “sarung.” Mereka mulai jarang bertegur sapa. Pasangan ini mulai saling memalingkan muka. 

Tahun ketiga praktis kerjasama yang dikampanyekan dalam pilkada kian ibarat pepesan kosong. Isinya banyak yang menguap. Di tahun ketiga ini pula dalam banyak kejadian kepala daerah-wakil kepala daerah mulai mengerek bendera masing-masing untuk cerai. Mereka maju sendiri-sendiri berhadap-hadapan dalam pemilukada berikutnya. 

UU No 22/1999, UU No 32/2004, dan UU No 23/2014 memiliki cacat bawaan terkait posisi kelembagaan “orang nomor 2” (wakil kepala daerah) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
UU yang bertujuan memperbaiki itu kurang tegas mengatur hubungan, pembagian tugas, dan kewenangan wakil kepala daerah dalam penyelengaraan pemerintahan daerah. 

Meskipun UU No 32/2004 telah memperbaiki kelemahan UU No 22/1999, lalu diperbaiki dengan UU No 23/2014, tetap belum cukup kuat untuk menjadi payung legalitas yang memastikan posisi, tugas, dan kewenangan wakil kepala daerah. Agar duetnya dengan kepala daerah solid. Posisi wakil kepala daerah masih sebagai “pembantu” kepala daerah.

Karena itu, duet “orang nomor 1 dengan orang nomor 2” pemda harus bergantung kepala komitmen dan goodwill kepala daerah dalam berbagi tugas dengan wakil kepala daerah. Itu pun wujudnya tak seragam. Bergantung pula kepentingan politik dengan DPRD, dengan birokrasi,  parpol koalisi pengusung duet kepala daerah-wakil kepala daerah semasa pemilukada, serta capital leadership orang nomor 1 pemda.

Apa pun, kita terus berharap –tentu dengan optimistik– perubahan dan perbaikan format politik, sistem demokrasi, dan etika politik yang beradab segera menjelang. Semoga! 

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU