Kala Marica
Opini | 23 November 2021, 06:40 WIBOleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Senior Harian Kompas
I
Günther Uecker adalah seorang seniman dari Mecklenburg, sebuah wilayah bersejarah di Jerman utara yang lahir pada tahun 1930. Menurut majalah seni internasional, Apollo edisi 17 Februari 2017, Günther Uecker adalah seniman op (optik) yakni model seni visual yang menggunakan ilusi optik dan seorang seniman instalasi.
Dalam pameran instalasinya di galeri seni Rostock, kota terbesar di wilayah Mechlenburg, yang diberi judul Der geschundene Mensch (manusia teraniaya), Günther Uecker memamerkan 14 objek. Ia menampilkan visi hidup dan penderitaannya dalam semacam potret batin, memproses pengalaman, mencatat sensasi dan mencoba mengungkap kekuatan dasar nyata dalam tanda-tanda sensitif: agresi, cedera, kehancuran, yang dia pegang dengan sikap mendamaikan dan melindungi.
Günther Uecker menderetkan 60 kata dari Perjanjian lama yang melukiskan destruksi manusia atas sesamanya. Misalnya, merampas, menghancurkan, membakar, menganiaya, menikam, menyiksa, memecah-belah, menistakan, melupakan, mencemarkan, mengolok-olok, meludahi, membasmi, menggebuki, mencuri, melecehkan, mencabik-cabik, menyeret, dan menggores.
Kata F Budi Hardiman (2011), kata-kata itu memberikan gambaran manusia mampu menghancurkan sesamanya. Dia menghancurkan dirinya dengan menundukkan diri di bawah dikte naluri-nalurinya.
Lewat destruksi, manusia menjadi elemen alam, baik sebagai pelaku maupun sebagai korbannya. Sebagai pelaku, dia tunduk di bawah dikte proses-proses objektif di luar kendalinya; sebagai korban martabatnya dinistakan ke taraf hewan-hewan yang termangsa dan benda-benda.
II
Pameran instalasi Günther Uecker itu menegaskan yang dikatakan filsuf asal Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) bahwa “manusia serigala bagi sesamanya”, homo homini lupus est. Meskipun, ada serigala yang sering berbulu domba, yang tampak jinak, penurut, menyenangkan, dan mengikuti apa kata gembalanya. Bila sudah demikian, sang gembala pun sulit membedakan mana domba mana serigala.
Oleh karena, tidak jarang, yang jahat itu tidak tampil dalam wajah monster yang menakutkan, monster sadistis. Tetapi, yang jahat itu bisa tampil begitu lugu, seperti tidak berdosa, berwajah Arjuna bukan Rahwana.
Orang akan mudah terkecoh oleh penampilan. Sejarah sangat mudah memberikan contoh. Apakah Adolf Eichmann yang bertanggung jawab atas pembunuhan jutaan orang Yahudi di kamar gas berwajah sadistis? Apakah Pol Pot yang bertanggung jawab atas pembunuh 1,5 – 2 juta orang Kamboja, berwajah bengis? Apakah Napoleon Bonaparte dan juga Mao Zedong berwajah sangar?
Tidak! Mereka adalah orang-orang yang murah senyum. Tetapi, senyumnya itu senyum mematikan. Di balik senyumnya tersimpan kejahatan. Sepintas tidak ada garis-garis kejahatan pada wajahnya. Yang jahat tidak selalu tampil dalam wajah monster sadistis, melainkan bisa dalam sosok orang baik-baik yang patuh pada aturan—baik aturan negara maupun aturan agama.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV