> >

Hilangnya Empati dan Nurani Penguasa Negeri

Catatan jurnalis | 25 September 2020, 09:19 WIB
Ilustrasi kotak surat suara pilkada (Sumber: KOMPAS)
 

Suara publik yang menolak revisi UU KPK tersebut nyaris tidak didengar. Pemerintah dan DPR RI seolah menutup telinga berbagai keberatan yang disampaikan. Gelombang aksi unjuk rasa mahasiswa sebagai bentuk protes atas keputusan itu juga dianggap angin lalu.

Hal yang sama sepertinya juga akan terjadi pada pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Meski gelombang penolakan terus terjadi, pemerintah dan DPR seolah tak peduli. Pemerintah dan DPR RI bahkan menggelar rapat yang membahas RUU tersebut saat rakyat sedang berjibaku melawan virus corona.

Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini dinilai melukai dan menciderai hati publik.

Pertama, RUU ini ditolak dan ditentang banyak kalangan karena dinilai bermasalah dan jika disahkan akan merugikan dan mengorbankan masyarakat.

Kedua, pembahasan itu dilakukan saat virus corona menggila dan pandemi tak terkendali. Alih-alih mengerahkan segala daya upaya untuk menangani pandemi, pemerintah dan DPR RI justru ‘bersekongkol’ untuk meloloskan RUU yang masih menuai kontroversi.

Kehilangan Empati

Sikap pemerintah dan DPR RI yang “keukeuh”  melanjutkan Pilkada dinilai sebagai bentuk pengabaian suara publik. Hal itu juga menunjukkan jika elite politik dan penguasa sudah kehilangan empati terhadap nasib warga negara. Mereka tak lagi peka dan menimbang rasa saat rakyat bersuara.

Sudah banyak korban bergelimpangan karena virus corona yang mematikan. Sudah ribuan orang mati karena dihajar pandemi. Namun para elite politik seolah tak peduli. Mereka tetap melenggang karena syahwat politik yang sudah tak bisa lagi dikekang.

Puluhan calon kepala daerah dan sejumlah komisioner KPU yang terpapar virus corona tak membuat mata pemerintah dan DPR RI terbuka. Angka kasus positif Covid-19 yang terus naik dan melonjak tajam juga tak membuat mereka ‘paham’ bahwa banyak nyawa yang terancam jika Plkada tetap dilanjutkan.

Pemerintah dan DPR memang berjanji akan memperketat protokol kesehatan. Karena itu KPU diminta merevisi PKPU nomor 10 tahun 2020 yang salah satunya melarang pertemuan dan membuat kerumunan. Namun, seberapa yakin pemerintah dan DPR pengabaian protocol kesehatan yang terjadi saat pendaftaran tak terulang?

Pilkada identik dengan memobilisasi massa. Sulit untuk menerapkan protokol kesehatan karena massa yang terkonsentrasi akan banyak dalam tiap tahapan. Daripada melanjutkan Pilkada yang rentan memakan korban, lebih baik anggaran Pilkada direlokasi untuk menangani pandemi.

Penulis : Zaki-Amrullah

Sumber : Kompas TV


TERBARU