Protes Besar Suku Maori Menarik Perhatian Dunia, Mengapa Mereka Berunjuk Rasa di Selandia Baru?
Kompas dunia | 19 November 2024, 17:58 WIBWELLINGTON, KOMPAS.TV — Seminggu terakhir ini wajah Hana-Rawhiti Maipi-Clarke bersliweran di jagad linimasa.
Ia terlihat merobek secarik kertas, matanya mendelik, dan suaranya lantang meneriakkan nyanyian sambil menari Haka, tarian perang suku Maori.
Hari ini, Selasa (19/11/2024) puluhan ribu orang memenuhi gedung parlemen Selandia Baru di Wellington.
Sepanjang jalan menuju gedung parlemen itu, mereka membawa bendera Maori dan menari tarian Haka.
Protes ini disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar yang pernah dilakukan suku Maori.
Tapi apa yang membuat Hana-Rawhiti terlihat begitu marah hingga merobek secarik kertas yang dia pegang?
Apa juga yang membuat sekitar 42.000 orang melakukan hikoi atau berjalan kaki menuju gedung parlemen Selandia Baru?
Berikut adalah penjelasan dari apa yang terjadi di Selandia Baru.
Polemik ini berawal dari sebuah rancangan undang-undang (RUU) yang akan mendefinisikan ulang perjanjian pendirian Selandia Baru, antara Kerajaan Inggris dan para kepala suku Māori, atau lebih dikenal dengan Perjanjian Waitangi.
Baca Juga: Dukung Hak-Hak Suku Maori, 42 Ribu Orang Padati Parlemen Selandia Baru
Perjanjian ini ditandatangani pertama kali pada 6 Februari 1840 di kota Waitangi oleh Kapten William Hobson sebagai perwakilan Kerajaan Inggris, dan 500 kepala suku Maori dari Pulau Utara Selandia Baru.
Perjanjian itu kemudian menjadi dasar terbentuknya negara Selandia Baru.
Perjanjian ini juga menjabarkan prinsip-prinsip yang memandu hubungan antara Kerajaan Inggris dengan suku Maori, dan ditulis dalam dua versi, yaitu bahasa Inggris dan Bahasa Maori.
Perjanjian ini menjanjikan hak dan keistimewaan bagi suku Maori.
Namun demikian, terdapat perbedaan versi antara bahasa Inggris dan dan bahasa Maori.
Terutama tentang kekuasaan yang diserahkan para kepala suku atas urusan tanah, dan otonomi mereka.
Selama beberapa dekade, Kerajaan Inggris telah melanggar kedua versi perjanjian tersebut.
Pada pertengahan abad ke-20, bahasa dan budaya Māori semakin menyusut, di mana penduduk asli sering dilarang mempraktikkannya, tanah suku Maori disita, dan mereka banyak dirugikan dalam berbagai hal.
Namun selama 50 tahun terakhir, gerakan dan protes semakin melonjak dari suku Maori.
Pengadilan Selandia Baru, Pembuat Undang-undang, dan Pengadilan Waitangi (badan permanen yang dibentuk untuk mengadili masalah Perjanjian Waitangi) kemudian dibentuk untuk menavigasi perbedaan perjanjian yang terdapat dalam dua versi tersebut.
Pemerintah Selandia Baru mencoba untuk memperbaiki pelanggaran dengan membangun kembali makna dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Perjanjian Waitangi.
Prinsip-prinsip tersebut dibuat secara fleksibel, tetapi umumnya digambarkan sebagai kemitraan dengan Kerajaan Inggris, sekaligus memberikan perlindungan kepentingan kepada Māori, dan keterlibatan suku Maori dalam setiap pengambilan keputusan.
Penulis : Tussie Ayu Editor : Deni-Muliya
Sumber : The Associated Press