> >

Lewat Hilirisasi, Indonesia Mengguncang Pasar Nikel Dunia, Tantangan Mengadang

Kompas dunia | 26 Oktober 2024, 07:20 WIB
Dominasi Indonesia di pasar nikel global dipicu kebijakan nasionalisme sumber daya alam, khususnya larangan ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2020 dan upaya hilirisasi yang menyusul. Perubahan ini telah mengguncang harga nikel global dan pesaingnya, sementara Indonesia meraup manfaat dari investasi. (Sumber: The Economist / Getty)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Indonesia telah mengguncang pasar nikel dunia dengan kebijakan hilirisasinya, yang membuatnya mendominasi produksi nikel global. 

Di tengah harga yang merosot dan persaingan yang tumbang, negara ini terus menarik investasi besar untuk memproses nikel menjadi bahan bernilai tinggi, meski menghadapi tantangan baru di sektor ini.

Harga patokan nikel anjlok hingga 72% dari puncaknya di tahun 2022. Dari Australia hingga Brasil, tambang dan pabrik peleburan nikel ditutup atau dijual. Semua pihak sepakat bahwa pelakunya adalah Indonesia, seperti laporan The Economist, Kamis (24/10/2024). 

Cadangan bahan baku nikel yang melimpah, aturan lingkungan yang longgar, dan tenaga listrik murah berbahan bakar batu bara memungkinkan produsen Indonesia menekan harga pesaingnya. 

Sejak Indonesia memperkenalkan larangan ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2020, sebagai bagian dari kebijakan hilirisasi, atau mendorong aktivitas bernilai tambah lebih tinggi, investasi dari China terus mengalir deras. 

Saat ini, Indonesia menghasilkan hampir setengah dari nikel olahan dunia dan dua pertiga dari nikel yang ditambang secara global. Kedua angka ini telah berlipat ganda sejak 2020.

Dominasi Indonesia di pasar nikel global dipicu kebijakan nasionalisme sumber daya alam, khususnya larangan ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2020 dan upaya hilirisasi yang menyusul. 

Perubahan ini telah mengguncang harga nikel global dan pesaingnya, sementara Indonesia meraup manfaat dari investasi besar asing dalam pengolahan nikel dan produksi baterai kendaraan listrik. 

Meskipun menghadapi tantangan dalam mempertahankan profitabilitas di tengah meningkatnya harga bahan baku, komitmen Indonesia terhadap hilirisasi dan pengelolaan pasar terus membentuk lanskap nikel global.

Perubahan yang cepat ini mengejutkan para pengamat nikel yang dekat dengan pasar. Beberapa tahun lalu, banyak yang percaya bahwa peralihan ke kendaraan listrik akan mendorong permintaan besar untuk nikel berkualitas tinggi, khususnya untuk baterai, kata Bernard Dahdah dari Natixis, sebuah bank asal Prancis. 

Baca Juga: Luhut: Uni Eropa Mulai Mengakui Indonesia Punya Hak Larang Ekspor Bijih Nikel

Meskipun pasokan nikel Indonesia meningkat, yang biasanya digunakan untuk baja tahan karat, hanya sedikit yang mengira pasar nikel berkualitas tinggi akan terdampak. 

Alasannya, sementara produsen tradisional seperti Australia memiliki cadangan bijih nikel “sulfida” yang mudah diproses, cadangan nikel Indonesia berbentuk “laterit”, di mana nikel tersebar halus di sepanjang sedimen. 

Bijih laterit ini lebih sulit untuk dimurnikan dan, banyak yang mengira, akan terlalu mahal untuk diproduksi dalam jumlah besar sebagai nikel yang cocok untuk baterai.

Namun, belakangan, perusahaan-perusahaan di Indonesia, dipimpin oleh Tsingshan, raksasa logam asal China, berhasil menemukan cara efisien untuk mengubah bijih laterit menjadi nikel yang lebih murni. 

Teknik mereka sangat inovatif. Salah satu metode yang populer melarutkan bijih dalam asam panas bertekanan untuk menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP), bahan antara yang kemudian diubah menjadi nikel kualitas baterai. Begitu juga dengan “nikel matte”, produk antara lainnya, yang dibuat dari nikel kualitas rendah. 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : The Economist / Kompas TV


TERBARU