> >

G7 Setujui Pinjaman Rp790 Triliun untuk Ukraina, Didukung Aset Rusia yang Dirampas AS dan Barat

Kompas dunia | 24 Oktober 2024, 07:15 WIB
Menteri Keuangan Janet Yellen menguraikan prioritas utamanya untuk pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional, selama konferensi pers di Departemen Keuangan di Washington, Selasa, 22 Oktober 2024. (Sumber: AP Photo)

WASHINGTON, KOMPAS TV — Ukraina akan menerima pinjaman sebesar Rp 790 triliun (sekitar $50 miliar) dari sekutu G7, yang didukung oleh aset-aset Rusia yang dibekukan, menurut pernyataan Gedung Putih pada Rabu, 23 Oktober 2024. 

Distribusi dana ini dijadwalkan dimulai sebelum akhir tahun, kata pejabat Amerika Serikat, dengan AS menyumbang Rp 316 triliun ($20 miliar) dari total pinjaman.

Para pemimpin negara-negara demokrasi kaya ini menyepakati pinjaman besar ini sebagai bagian dari upaya membantu Ukraina yang tengah berjuang bertahan hidup setelah invasi Rusia. 

Keuntungan dari bunga yang dihasilkan oleh aset bank sentral Rusia yang dibekukan akan digunakan sebagai Jaminan. "Untuk jelasnya, ini belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Daleep Singh, penasihat keamanan nasional untuk ekonomi internasional. 

"Belum pernah ada koalisi multilateral yang membekukan aset negara agresor, lalu memanfaatkan nilai aset tersebut untuk membiayai pertahanan pihak yang dirugikan, sambil tetap menghormati hukum dan menjaga solidaritas."

Pada upacara yang digelar di Washington pada Rabu, Menteri Keuangan AS Janet Yellen dan Menteri Keuangan Ukraina Sergii Marchenko berencana menandatangani pernyataan yang menegaskan bahwa pinjaman dari AS ini akan dibayar menggunakan hasil keuntungan aset-aset Rusia yang telah dibekukan, bukan dari uang pajak rakyat Amerika.

"Rusia yang membayar dukungan ini," kata Yellen dalam konferensi pers hari Senin, 22 Oktober 2024, di mana ia mengatakan paket pinjaman ini hampir final.

Menurut Singh, pemerintahan Biden berencana membagi kontribusi AS sebesar Rp 316 triliun ($20 miliar) untuk mendukung ekonomi dan militer Ukraina. Bagian untuk bantuan militer membutuhkan persetujuan Kongres, dan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menyatakan bahwa senjata dan peralatan yang dijanjikan mungkin memerlukan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan untuk sampai ke Ukraina.

Baca Juga: Ukraina Sewot, Kecam Sekjen PBB yang Disebut Akan Hadiri KTT BRICS di Rusia

Sisa Rp 474 triliun ($30 miliar) akan datang dari Uni Eropa, Inggris, Kanada, dan Jepang, serta beberapa negara lainnya.

Ide menggunakan aset Rusia yang dibekukan atau dirampas sepihak awalnya menghadapi perlawanan dari pejabat Eropa yang khawatir tentang stabilitas hukum dan finansial. 

Namun, gagasan ini mendapat momentum setelah negosiasi lebih dari satu tahun antarpejabat keuangan, dan setelah Presiden Joe Biden pada bulan April menandatangani undang-undang yang memungkinkan pemerintah AS menyita sekitar Rp 79 triliun ($5 miliar) aset negara Rusia di AS.

Pada bulan Juni, G7 mengumumkan bahwa sebagian besar pinjaman ini akan dijamin oleh keuntungan yang dihasilkan dari sekitar Rp 4.114 triliun ($260 miliar) aset Rusia yang dibekukan secara sepihak tanpa keputusan pengadilan Internasional. Sebagian besar dana ini berada di negara-negara Uni Eropa.

AS dan sekutunya segera membekukan aset bank sentral Rusia yang mereka miliki aksesnya ketika Moskow menginvasi Ukraina pada tahun 2022.

Waktu penyaluran pinjaman ini menimbulkan pertanyaan, karena terjadi dua minggu sebelum pemilihan presiden antara Donald Trump dari Partai Republik dan Kamala Harris dari Partai Demokrat. Kedua kandidat memiliki pandangan yang berseberangan terkait ancaman dari Rusia.

Menteri Pertahanan Lloyd Austin menepis anggapan bahwa bantuan militer untuk Ukraina yang telah disetujui oleh pemerintahan Biden bisa dibatalkan jika ada pemerintahan baru yang berkuasa.

"Saya yakin bahan-bahan ini akan terus mengalir," kata Austin, menambahkan bahwa ia percaya semua bantuan akan disalurkan "sesuai jadwal yang telah ditetapkan."

Laporan terbaru dari Bank Dunia tentang kerusakan di Ukraina, yang dirilis pada Februari, memperkirakan bahwa biaya rekonstruksi dan pemulihan negara tersebut mencapai Rp 7.689 triliun ($486 miliar) dalam 10 tahun ke depan.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Associated Press


TERBARU