> >

Dualisme AS dalam Genosida di Palestina: Ungkap Keprihatinan, tapi Kirim Senjata Canggih ke Israel

Kompas dunia | 16 Oktober 2024, 12:05 WIB
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Perdana Menteri (PM) Israel Netanyahu di Tel Aviv. Pengiriman sistem anti-rudal canggih THAAD AS ke Israel, bersama dengan 100 tentara untuk mengoperasikannya, menandai eskalasi signifikan keterlibatan AS dalam perang Israel di Gaza dan Lebanon. (Sumber: Getty / Axios)

WASHINGTON, KOMPAS.TV – Pengiriman sistem persenjataan anti-rudal canggih THAAD Amerika Serikat (AS) ke Israel, bersama dengan 100 tentara untuk mengoperasikannya, menandai eskalasi signifikan keterlibatan AS dalam perang Israel yang semakin meluas, yang telah lama didanai secara besar-besaran oleh Washington.

Pengiriman ini, yang dipersiapkan untuk menghadapi potensi serangan Iran sebagai tanggapan atas serangan Israel, menimbulkan pertanyaan tentang legalitas keterlibatan AS. Terutama ketika dukungan tanpa syarat Presiden Joe Biden untuk Israel mendapatkan kritikan, sebagaimana dilaporkan Al Jazeera, Rabu (16/10/2024).

Di saat yang sama, pejabat AS mulai mengancam akan menegakkan hukum yang melarang bantuan militer ke negara yang menghalangi bantuan kemanusiaan, seperti yang sering dilakukan Israel di Gaza. Namun, ancaman tersebut belum diikuti dengan tindakan nyata.

Pada konferensi pers Selasa, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, menolak menjelaskan apa konsekuensinya jika Israel gagal mematuhi permintaan AS. Ketika ditanya lebih lanjut mengenai perbedaan ancaman ini dengan ancaman sebelumnya yang tidak terealisasi, Miller mengatakan, “Saya tidak akan membicarakannya hari ini.”

Dalam surat yang bocor pada Selasa, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin meminta Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dan Menteri Urusan Strategis Ron Dermer untuk mengambil langkah-langkah "konkret" guna memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza dalam 30 hari. Meski pengiriman ribuan bom ke Israel sempat ditunda awal tahun ini, AS tetap melanjutkan pengiriman senjata meskipun Israel memperluas serangannya di Gaza dan kemudian ke Lebanon.

“Surat yang ditandatangani oleh Blinken dan Austin menunjukkan tingginya tingkat kekhawatiran, dan ancaman yang tersirat, meskipun belum jelas apakah pemerintahan ini akan benar-benar menerapkannya,” kata Brian Finucane, mantan penasihat hukum di Departemen Luar Negeri AS dan penasihat senior di International Crisis Group kepada Al Jazeera.

Menurut Finucane, hukum-hukum yang mengatur konflik ini telah ada selama berlangsungnya konflik, namun pemerintahan Biden tidak menegakkannya.

“Mungkin kondisi di Gaza utara sudah begitu parah sehingga perhitungan politik berubah, dan mereka akhirnya memutuskan untuk menerapkan hukum AS. Tetapi, keputusan ini sudah jauh terlambat,” tambahnya.

Baca Juga: Macron Peringatkan Netanyahu: Israel Ada karena Keputusan PBB Dirikan Negara Arab dan Negara Yahudi

Sejumlah tentara Amerika Serikat (AS) tampak tengah memuat sistem pertahanan udara area ketinggian (Terminal High Altitude Area Defense) atau THAAD ke dalam pesawat pengangkut militer di Fort Bliss, Texas, 23 Februari 2019. Hari Minggu (13/10/2024), Pentagon menyatakan akan mengirimkan THAAD ke Israel mengantisipasi ancaman serangan rudal Iran. (Sumber: Staff Sgt. Cory D. Payne/U.S. Air Force via AP)

Marwan Bishara, analis politik senior Al Jazeera, dengan tegas menyatakan bahwa surat AS yang memberi Israel tenggat waktu 30 hari untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan ke Gaza, atau kehilangan akses ke pendanaan senjata AS, hanyalah taktik Washington untuk terus menutupi genosida yang dilakukan Israel di Gaza selama setahun terakhir.

Menurut Bishara, pemerintahan Biden hanya berusaha membuat jejak dokumentasi seolah-olah mereka memperingatkan Israel, padahal di balik layar, senjata dan uang terus mengalir.

"Inilah permainan mereka, memberi senjata di satu tangan, sambil di tangan lain berpura-pura menunjukkan keberatan yang disebarluaskan ke publik," ungkapnya kepada Al Jazeera.

Bishara menambahkan bahwa AS terus memperlihatkan keberatan yang ‘kosong’ terkait tindakan Israel, tetapi di saat yang sama memberikan lebih banyak senjata, uang, dan perlindungan diplomatik yang memungkinkan Israel melanjutkan genosida, baik di Gaza, Tepi Barat, maupun Lebanon. 

"Setiap kali pejabat Amerika mengatakan mereka ‘prihatin’, itu hanya omong kosong. Ketika 1.000 anak meninggal di Gaza, mereka bilang mereka ‘prihatin’. Ketika 40.000 lebih warga Gaza tewas, mereka masih ‘prihatin’. Ketika Israel menyerang Lebanon, mereka tetap ‘prihatin’. Ini hanya kedok, dan sudah tidak lagi bisa dipercaya," tegas Bishara.

Bishara juga menyentil pernyataan bahwa AS prihatin soal kelaparan, padahal Netanyahu dan Gallant sudah dituduh di Pengadilan Kriminal Internasional karena menggunakan kelaparan sebagai senjata.

"Sekarang, Blinken dan Austin ingin meyakinkan kita bahwa AS ‘prihatin’ soal kelaparan? Tolonglah, berhentilah berpura-pura," pungkasnya. 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Al Jazeera


TERBARU