Israel Serang Pasukan UNIFIL PBB di Lebanon: Pelanggaran Hukum Internasional atau Kejahatan Perang?
Kompas dunia | 12 Oktober 2024, 13:31 WIBNAQOURA, KOMPAS TV – Militer Israel menembaki pasukan perdamaian PBB di Lebanon dalam dua insiden terpisah kurang dari 48 jam, menurut pernyataan PBB.
Pada hari Kamis, 10 Oktober 2024, pasukan Israel menargetkan menara penjaga di markas besar Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL), melukai dua anggota pasukan perdamaian, kemudian kembali menembaki menara pengawas pada Jumat, 11 Oktober 2024, menyebabkan dua pasukan perdamaian lainnya terluka.
Serangan terhadap pasukan perdamaian PBB oleh negara anggota PBB sangat jarang terjadi. Inilah signifikansi insiden ini dalam konteks invasi Israel ke Lebanon.
Baca Juga: Tentara Indonesia Terluka Saat IDF Gempur Pasukan PBB, Biden Tegur Israel Agar Tak Serang UNIFIL
Apa yang Terjadi?
Kamis pagi, pasukan Israel menggunakan tank Merkava untuk menembaki menara pengawas milik UNIFIL di Naqoura, sebuah kota kecil di perbatasan selatan Lebanon di mana markas besar UNIFIL telah berada sejak 1978.
Dua tentara perdamaian asal Indonesia terkena tembakan langsung, membuat mereka terjatuh. “Untungnya, cedera mereka kali ini tidak serius, namun mereka tetap dirawat di rumah sakit,” demikian pernyataan PBB yang dirilis pada Kamis.
Pernyataan tersebut juga menyebutkan bahwa pada hari Rabu, pasukan Israel "dengan sengaja menembaki dan menonaktifkan" kamera pemantauan di markas UNIFIL.
Pada hari Jumat, UNIFIL merilis pernyataan kedua yang menyebutkan dua pasukan perdamaian lainnya terluka ketika dua ledakan terjadi di dekat menara pengawas. Salah satu dari mereka dilarikan ke rumah sakit di kota Tyre, Lebanon, sementara yang lainnya dirawat di Naqoura.
Serangan Israel ini menuai kecaman dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Italia, Prancis, Spanyol, Irlandia, Turki, Uni Eropa, dan Kanada.
Baca Juga: Indonesia Kecam Serangan Israel yang Lukai 2 Prajurit TNI UNIFIL di Lebanon
Apa Itu UNIFIL?
UNIFIL adalah pasukan penjaga perdamaian yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB pada Maret 1978 setelah invasi pertama Israel ke Lebanon, yang kemudian dikenal sebagai Konflik Lebanon Selatan.
Pada tahun 1978, Israel mengerahkan pasukannya di sepanjang perbatasan dengan Lebanon setelah anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) masuk ke Israel dari Lebanon melalui laut. UNIFIL didirikan untuk mengawasi penarikan mundur pasukan Israel dari Lebanon dan memulihkan perdamaian serta keamanan di kawasan tersebut.
Setelah perang selama 34 hari antara Hizbullah dan Israel pada 2006, yang menewaskan 1.100 orang Lebanon, mandat UNIFIL diperluas untuk memantau penghentian permusuhan serta mendukung angkatan bersenjata Lebanon yang ditempatkan di seluruh wilayah selatan Lebanon.
Hingga 2 September 2024, sebanyak 10.058 tentara UNIFIL dikerahkan di Lebanon, berasal dari 50 negara. Jumlah terbesar tentara UNIFIL – 1.231 orang – berasal dari Indonesia. Italia, India, Nepal, dan China juga menyumbang banyak tentara untuk pasukan perdamaian ini.
Baca Juga: UNIFIL Ungkap Tank Israel Tembak Markas Pasukan PBB, 2 Prajurit Terjatuh dari Menara
Seberapa Sering Pasukan Perdamaian PBB Menjadi Korban?
Sejak 1948 hingga akhir Agustus 2024, 4.398 pasukan perdamaian PBB tewas dalam berbagai misi di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 1.629 kematian disebabkan oleh penyakit, 1.406 oleh kecelakaan, 1.130 oleh tindakan jahat, dan 233 disebabkan oleh “alasan lainnya,” menurut data PBB.
UNIFIL merupakan salah satu misi PBB paling berbahaya, dengan korban jiwa terbanyak. Dalam 46 tahun terakhir, 337 pasukan perdamaian telah tewas. Misi kedua dengan korban tertinggi adalah Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensional PBB di Mali, dengan 311 korban jiwa.
Tahun dengan korban tertinggi tercatat pada 1993, ketika 252 pasukan perdamaian tewas dalam misi di Somalia, Bosnia dan Herzegovina, Kamboja, dan beberapa lokasi lainnya.
Pada 2010, terjadi kematian tertinggi kedua, dengan 173 pasukan perdamaian tewas. Tiga di antaranya adalah pasukan dalam Misi PBB di Darfur, yang tewas dalam konfrontasi dengan kelompok bersenjata yang tidak dikenal.
Pada tahun yang sama, 43 anggota Misi Stabilisasi PBB di Haiti (MINUSTAH) tewas pada 12 Januari akibat gempa bumi di Haiti. Sepuluh personel MINUSTAH lainnya tewas pada 2010 akibat “tindakan kekerasan,” menurut laporan PBB.
Pada 2017, PBB melaporkan bahwa serangan terhadap pasukan perdamaian di Republik Demokratik Kongo diduga dilakukan oleh kelompok bersenjata Pasukan Demokrat Sekutu (ADF). Serangan tersebut menewaskan 14 pasukan perdamaian asal Tanzania dan melukai 44 lainnya.
Baca Juga: Jaksa Mahkamah Pidana Internasional ICC Desak Surat Penangkapan Netanyahu dan Sinwar Segera Terbit
Apa Posisi Hukum Terkait Menargetkan Pasukan Perdamaian PBB?
Pengamat menyebut bahwa penargetan secara sengaja terhadap misi PBB merupakan kejahatan perang.
“Berdasarkan hukum perang, personel PBB yang terlibat dalam operasi penjaga perdamaian, termasuk yang bersenjata, dianggap sebagai warga sipil. Serangan yang disengaja terhadap mereka dan fasilitas penjaga perdamaian adalah ilegal dan termasuk kejahatan perang,” demikian disampaikan dalam laporan Human Rights Watch (HRW).
HRW mengutip Pasal 8(2)(b)(iii) Statuta Roma, yang membentuk Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Pasal ini mencantumkan bahwa penargetan secara sengaja terhadap misi kemanusiaan dan penjaga perdamaian merupakan kejahatan perang.
"(iii) Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap personel, instalasi, material, unit, atau kendaraan yang terlibat dalam misi bantuan kemanusiaan atau penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, selama mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada warga sipil atau objek sipil di bawah hukum internasional konflik bersenjata."
Pernyataan PBB yang melaporkan serangan hari Kamis mengatakan bahwa serangan tersebut tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701. Setelah serangan Israel pada hari Jumat di markas UNIFIL, PBB menyatakan: “Ini adalah perkembangan serius, dan UNIFIL menegaskan kembali bahwa keselamatan dan keamanan personel serta properti PBB harus dijamin, dan kekebalan tempat PBB harus dihormati setiap saat."
"Setiap serangan yang disengaja terhadap pasukan perdamaian merupakan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701 (2006)."
Baca Juga: Laporan Komisi PBB: Israel Lakukan Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan di Gaza
Apakah Israel Pernah Menyerang Pasukan Perdamaian PBB Sebelumnya?
Analis militer Elijah Magnier mengatakan kepada Al Jazeera bahwa insiden terbaru ini bukanlah pertama kalinya UNIFIL diserang oleh Israel.
Pada 1987, satu skuad tank Israel menembaki sebuah desa yang menjadi lokasi pos komando UNIFIL, menewaskan seorang pasukan perdamaian asal Irlandia. Pada 1996, Israel membombardir batalion Fiji UNIFIL di Qana, Lebanon selatan. Lebih dari 120 warga sipil Lebanon tewas dan sekitar 500 lainnya terluka. Empat tentara PBB juga terluka.
Pada akhir November 2023, pasukan Israel menembaki patroli UNIFIL di dekat Aitaroun, Lebanon selatan, namun tidak ada pasukan perdamaian yang terluka.
Magnier menambahkan bahwa serangan terbaru ini terjadi "karena Israel perlu melewati posisi UNIFIL di Naqoura untuk memulai invasi ke Lebanon. Poros ini sangat penting bagi militer Israel," ujarnya, sembari menambahkan bahwa sejumlah besar tentara Israel sudah bersiap untuk memasuki Lebanon.
Pasukan UNIFIL mudah diidentifikasi karena mereka mengenakan helm biru, dan posisi mereka telah diketahui oleh militer Israel.
Baca Juga: Usai Tembaki Markas UNIFIL di Lebanon, Israel Perintahkan Pasukan PBB Hengkang ke Utara
Seberapa Jarang Negara Anggota PBB Menyerang Pasukan Perdamaian?
Serangan oleh negara anggota PBB terhadap pasukan perdamaian sangat jarang terjadi.
Sebagian besar cedera dan kematian pasukan perdamaian biasanya terjadi dalam baku tembak antara kelompok bersenjata atau pemberontak, menurut pernyataan PBB setelah insiden-insiden tersebut.
Pada 1994, 10 tentara Belgia dalam Misi Bantuan PBB di Rwanda tewas oleh tentara Rwanda, yang merupakan anggota PBB, menurut laporan HRW.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Anadolu / Kompas TV / ICRC