> >

Investigasi Internasional: Supermarket di Barat Untung, Petani Udang di Asia Tereksploitasi

Kompas dunia | 30 September 2024, 18:59 WIB
Seorang pekerja memilah udang di sebuah tambak udang di Kebumen, Jawa Tengah, Selasa, 24 September 2024. (Sumber: AP Photo/Dita Alangkara)

BANGKOK, KOMPAS.TV - Petani udang di Indonesia, Yulius Cahyonugroho telah mengoperasikan lebih dari dua lusin tambak sejak beberapa tahun lalu.

Ia mempekerjakan tujuh orang dan menghasilkan pendapatan yang lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya.

Namun saat ini ceritanya berbeda. Pria berusia 39 tahun itu mengatakan, kini harga yang ia dapatkan dari pembeli telah turun setengahnya.

Sehingga ia harus mengurangi jumlah pekerjanya menjadi empat orang dan sekitar sepertiga tambak. 

Dengan efisiensi yang telah dilakukannya, keadaan tidak juga membaik.

Ia bahkan mengalami beberapa bulan yang tidak mencapai titik impas.

Istrinya kini harus bekerja di sebuah perkebunan semangka untuk membantunya menghidupi kedua anak mereka.

“Ini (kebun semangka) lebih stabil daripada tambak udang,” kata petani yang berasal dari provinsi Jawa Tengah itu, seperti dikutip dari The Associated Press.

Sementara itu di belahan bumi yang lain, supermarket besar di Barat meraup untung besar.

Mereka melakukan upaya agresif untuk mendapatkan harga grosir yang semakin rendah.

Namun upaya ini justru membuat kesengsaraan bagi orang-orang di rantai pasokan paling bawah, yaitu orang-orang seperti Cahyonugroho yang memproduksi dan memproses makanan laut. 

Baca Juga: Jutaan Udang Menuju Daratan di Pesisir Kota Gorontalo | NEWS OR HOAX

Cerita tersebut bagian dari narasi hasil investigasi yang dilakukan aliansi LSM berfokus pada tiga produsen udang terbesar di dunia.

Hasil investigasi mereka kemudian diberikan kepada The Associated Press dan dipublikasikan pada Senin (30/9/2024).

Analisis industri di Vietnam, Indonesia, dan India yang menyediakan sekitar setengah dari udang di empat pasar teratas dunia menemukan penurunan pendapatan sebesar 20%-60% sejak sebelum pandemi.

Sejak saat itu, produsen berjuang untuk memenuhi tuntutan harga dengan memangkas biaya tenaga kerja.

Di banyak tempat, efisiensi ini berbuntut panjang, dan lagi-lagi buruh yang mengalami kerugian.

Mereka melakukan pekerjaan yang tidak dibayar atau dibayar rendah dengan jam kerja yang lebih panjang.

Mereka mengalami ketidaknyamanan upah karena tarif yang berfluktuasi.

Banyak pekerja tidak mendapatkan upah minimum yang seharusnya menjadi hak mereka. 

Penulis : Tussie Ayu Editor : Deni-Muliya

Sumber : The Associated Press


TERBARU