> >

Tunisia Gelar Kampanye Pilpres Sehari setelah Protes Besar Melawan Pemerintah

Kompas dunia | 15 September 2024, 13:38 WIB
Warga Tunisia ikut serta dalam aksi protes terhadap Presiden Kais Saied menjelang pemilihan presiden di Avenue Habib Bourguiba di ibu kota Tunis, Jumat, 13 September 2024. (Sumber: AP Photo)

Namun, selama menjabat, Saied mengambil langkah-langkah untuk memperkuat kekuasaan, termasuk membekukan parlemen dan mengubah konstitusi. Para jurnalis, aktivis, serta oposisi politik dari berbagai spektrum ideologi juga ditangkap.

Situasi ekonomi pun terus memburuk. Tingkat pengangguran mencapai 16 persen, salah satu yang tertinggi di kawasan, dan terutama berdampak pada kaum muda Tunisia.

Meski begitu, Saied masih berhasil mendapatkan dukungan dengan retorika populis, seringkali menargetkan migran dari Afrika Sub-Sahara yang ia tuduh terlibat dalam kekerasan dan mengubah demografi negara.

Baca Juga: Krisis Ekonomi dan Kekeringan, Warga Tunisia Kesulitan Beli Hewan Kurban untuk Iduladha

Dalam beberapa bulan menjelang pemilihan, tindakan keras politik semakin meluas. Para penantang Saied ditangkap, diminta tutup mulut, atau dihadapkan dengan dakwaan yang dianggap bermotif politik.

Bahkan, calon yang telah disetujui oleh otoritas pemilu Tunisia juga menghadapi ancaman penangkapan.

Ayachi Zammel, pengusaha yang berencana menantang Saied, ditangkap tidak lama setelah diumumkan sebagai salah satu dari dua calon yang disetujui untuk ikut pilpres.

Pengacaranya, Abdessattar Messaoudi, khawatir kliennya bisa dilarang seumur hidup dari politik.

Jaringan Tunisia untuk Pertahanan Hak dan Kebebasan, sebuah koalisi baru dari kelompok masyarakat sipil dan partai politik, mengorganisasi protes pada Jumat untuk menyoroti gelombang otoritarianisme.

Ketidakpuasan semakin memuncak ketika otoritas pemilu, yang diisi oleh loyalis Saied, menolak putusan pengadilan yang memerintahkan pengembalian tiga calon presiden yang ditolak.

Dalam waktu kurang dari sebulan, warga Tunisia diharapkan akan memberikan suara mereka dalam pemungutan suara pada 6 Oktober, di tengah kekhawatiran dan keraguan yang menyebar mengenai masa depan politik negara ini.

Hajer Mohamed, asisten firma hukum berusia 33 tahun, mengatakan ia dan teman-temannya sangat khawatir dengan arah negaranya yang mereka tidak pernah bayangkan ketika mereka merayakan kebebasan yang diperoleh 13 tahun lalu.

“Kami tidak pernah berpikir setelah revolusi 2011 kami akan hidup dalam situasi yang mencekik seperti ini," katanya.

"Bahkan di bawah diktator Zine El Abidine Ben Ali, keadaannya tidak seburuk sekarang."

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Associated Press


TERBARU