Presiden Prancis Bantah Penangkapan CEO Telegram Pavel Durov Bermotif Politik
Kompas dunia | 27 Agustus 2024, 07:27 WIBDurov mengungkapkan pihak berwenang Rusia meminta VKontakte untuk menutup komunitas online aktivis oposisi dan menyerahkan data pribadi pengguna yang terlibat dalam pemberontakan Ukraina pada 2013, yang akhirnya menggulingkan presiden pro-Kremlin. Durov menolak tuntutan tersebut dan memilih meninggalkan Rusia.
Telegram kemudian menjadi alat komunikasi penting di Rusia dan Ukraina, di mana aplikasi ini digunakan oleh media dan pejabat untuk menyampaikan informasi, termasuk peringatan serangan rudal dan udara.
Dalam pernyataan resmi via Telegram setelah penangkapan Durov, perusahaan tersebut menegaskan mereka mematuhi hukum Uni Eropa dan menerapkan moderasi yang "sesuai dengan standar industri dan terus ditingkatkan."
Telegram juga menambahkan, menuduh platform atau pemiliknya bertanggung jawab atas penyalahgunaan adalah hal yang "absurd."
Baca Juga: CEO Telegram Pavel Durov Ditangkap Saat Baru Mendarat di Bandara Prancis, Hal Ini Diyakini Alasannya
Seorang hakim investigasi Prancis memperpanjang masa penahanan Durov hingga empat hari untuk keperluan interogasi lebih lanjut.
Menurut hukum Prancis, setelah periode ini, hakim harus memutuskan apakah Durov akan didakwa atau dibebaskan.
Kedutaan Besar Rusia di Paris mengeluh akses konsuler terhadap Durov ditolak karena otoritas Prancis menganggap kewarganegaraan Prancis sebagai kewarganegaraan utamanya.
Sementara juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan "Kami masih belum tahu apa yang sebenarnya dituduhkan kepada Durov. Mari kita tunggu sampai tuduhan itu diumumkan, jika memang ada."
Elon Musk, pemilik platform X yang dikenal sebagai pendukung absolut kebebasan berbicara, menyuarakan dukungan untuk Durov dengan tagar "#freePavel" setelah penangkapan tersebut.
Telegram sering mendapat kritik dari pemerintah negara-negara Barat karena dituding tidak menerapkan moderasi konten yang mencukupi, yang menurut para ahli membuka peluang penyalahgunaan, termasuk pencucian uang, perdagangan narkoba, dan penyebaran materi eksploitasi seksual anak.
Pada 2022, Jerman mendenda operator Telegram sebesar 5 juta dolar AS (sekitar Rp77,4 miliar, kurs Rp15.485 per dolar) karena gagal mematuhi aturan pelaporan konten ilegal dan tidak menunjuk perwakilan resmi di Jerman.
Brasil juga sempat menangguhkan Telegram karena gagal menyerahkan data terkait aktivitas neo-Nazi dalam penyelidikan penembakan di sekolah.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Associated Press