> >

Jaksa Utama ICC Diintimidasi Tel Aviv, Ini Sejarah Perlawanan ICC terhadap Operasi Intelijen Israel

Kompas dunia | 29 Mei 2024, 14:42 WIB
Jaksa ICC 2012 - 2021, Fatou Bensouda, di Den Haag, Belanda, dalam foto Selasa 28 Agustus 2018. Pada Rabu, 3 Maret 2021, Bensouda mengumumkan penyelidikan terhadap dugaan kejahatan perang di wilayah Palestina, menegaskan akan dilakukan secara independen, tidak memihak, dan objektif. (Sumber: Bas Czerwinski/Pool file via AP, File)

DEN HAAG, KOMPAS TV - Jaksa utama pengadilan pidana internasional (ICC) Karim Khan beberapa hari lalu mengeluarkan peringatan tegas dalam upayanya mengusahakan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Israel dan Hamas.

"Saya menegaskan bahwa semua upaya untuk menghalangi, mengintimidasi, atau memengaruhi pejabat pengadilan ini secara tidak pantas harus segera dihentikan," katanya. 

Ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, Pengadilan Kriminal Internasional mencatat operasi intelijen canggih sejak 2015 untuk menghancurkan kasus kejahatan perang di Palestina. Kini ICC mengupayakan surat penangkapan terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu, Menhan Yoav Gallant, dan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, Yahya Sinwar, dan Muhammad Deif.

"Perang" ini dimulai Januari 2015, ketika Palestina dipastikan bergabung dengan ICC setelah diakui sebagai negara oleh Majelis Umum PBB. Aksesi ini dikutuk oleh pejabat Israel sebagai bentuk "terorisme diplomatik", seperti laporan The Guardian, Selasa (28/5/2024).

Investigasi ini mengungkap bagaimana Israel menjalankan "perang" dan operasi intelijen hampir satu dekade, termasuk dengan ancaman fisik, dan jebakan kepada keluarga jaksa, dan penggunaan kepala negara dari negara lain untuk menekan jaksa ICC. 

Bagi Fatou Bensouda, seorang pengacara terhormat asal Gambia yang terpilih sebagai jaksa utama ICC tahun 2012, bergabungnya Palestina ke ICC membawa keputusan yang sangat penting. Berdasarkan Statuta Roma, perjanjian yang membentuk pengadilan, ICC hanya dapat menjalankan yurisdiksinya atas kejahatan perang yang terjadi di negara-negara anggota atau oleh warga negara dari negara-negara tersebut.

Israel, seperti AS, Rusia, dan China, bukan anggota Pengadilan Kriminal Internasional ICC. Namun setelah diterimanya Palestina sebagai anggota ICC, dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh siapa pun di wilayah Palestina yang diduduki kini berada di bawah yurisdiksi Bensouda, yang tahun 2015 menjabat Jaksa Utama Pengadilan Kriminal Internasional ICC.

Pada 16 Januari 2015, beberapa minggu setelah Palestina bergabung, Bensouda membuka pemeriksaan awal terhadap apa yang dalam istilah hukum pengadilan disebut "situasi di Palestina." Bulan berikutnya, dua pria yang berhasil mendapatkan alamat pribadi jaksa tiba di rumah pribadinya di Den Haag.

Sumber yang akrab dengan insiden tersebut mengatakan pria-pria itu menolak untuk mengidentifikasi diri mereka ketika tiba, tetapi mengatakan ingin menyerahkan surat kepada Bensouda atas nama seorang wanita Jerman yang tidak dikenal yang ingin berterima kasih kepadanya. Amplop itu berisi ratusan dolar dalam bentuk tunai dan sebuah catatan dengan nomor telepon Israel.

Baca Juga: Eks Bos Mossad Pernah Ancam Keselamatan Eks Jaksa ICC , Ditekan untuk Bekerjasama dengan Israel

Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, di kantor Pengadilan Kriminal Internasional ICC di Den Haag tahun 2015, usai menemui jaksa penuntut Fatou Bensouda. (Sumber: Anadolu)

Sumber yang mengetahui tinjauan ICC terhadap insiden tersebut mengatakan, meskipun tidak mungkin mengidentifikasi pria-pria itu, atau sepenuhnya menetapkan motif mereka, disimpulkan Israel kemungkinan sedang memberikan sinyal kepada jaksa bahwa mereka tahu di mana ia tinggal, sehingga tindakan itu dianggap sebagai ancaman langsung terhadap pribadi Bensouda dan keluarga. 

ICC melaporkan insiden tersebut kepada otoritas Belanda yang kemudian menerapkan keamanan tambahan, termasuk memasang kamera CCTV di rumahnya.

Pemeriksaan awal ICC di wilayah Palestina adalah salah satu dari beberapa pencarian fakta yang dilakukan pengadilan pada saat itu, sebagai pendahulu dari kemungkinan penyelidikan penuh. Beban kasus Bensouda juga mencakup sembilan penyelidikan penuh, termasuk peristiwa di Republik Demokratik Kongo, Kenya, dan wilayah Darfur di Sudan.

Pejabat di kantor jaksa percaya pengadilan rentan terhadap aktivitas mata-mata, sehingga memutuskan untuk mulai langkah-langkah penangkal untuk melindungi penyelidikan rahasia mereka.

Di Israel, dewan keamanan nasional (NSC) perdana menteri memobilisasi tanggapan yang melibatkan badan intelijen mereka. Netanyahu dan beberapa jenderal serta kepala mata-mata yang mengesahkan operasi tersebut memiliki kepentingan pribadi dalam hasil operasi intelijen itu.

Berbeda dengan Mahkamah Internasional (ICJ), badan PBB yang menangani tanggung jawab hukum negara-negara, ICC adalah pengadilan pidana yang menuntut individu orang per orang, menargetkan mereka yang dianggap paling bertanggung jawab atas kekejaman dan kejahatan perang.

Banyak perwira militer dan pemimpin politik paling senior Israel bertanggung jawab atas tindakan di wilayah Palestina, di mana tentara menanggapi serangan dengan kekerasan tidak proporsional yang menyebabkan kematian warga sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan itu termasuk kebijakan penghancuran rumah Palestina, deportasi, dan pemindahan paksa.

Masuknya Israel ke Gaza pada tahun 2014 menewaskan lebih dari 2.200 warga Palestina, hampir sepertiganya anak-anak. Sebelas tentara Israel dan enam warga sipil juga tewas. Serbuan itu dipimpin oleh jenderal-jenderal, dimana banyak dari mereka sekarang menjadi tokoh politik dan militer senior Israel.

Penyelidikan ICC bisa berakibat ancaman penangkapan dan persidangan atas individu yang bertanggung jawab atas dugaan kekejaman dan kejahatan perang.

Baca Juga: Palestina Serahkan Bukti Kejahatan Perang Israel ke Pengadilan Kriminal Internasional

Direktur Mossad saat itu tahun 2015, Yossi Cohen, berupaya menundukkan Jaksa ICC Fatou Bensouda, salah satunya dengan muncul tiba-tiba saat Bensouda bertemu presiden Republik Demokratik Kongo saat itu, Joseph Kabila, di New York. Selanjutnya menurut ICC, Cohen berperilaku makin mengancam secara fisik sehingga Bensouda meminta perlindungan tambahan. (Sumber: Guardian)

Ancaman Pribadi dan Kampanye Pencemaran Nama Baik

Antara akhir 2019 dan awal 2021, saat kamar praperadilan mempertimbangkan pertanyaan yurisdiksi, Direktur Mossad, Yossi Cohen, meningkatkan upayanya untuk membujuk Bensouda agar tidak melanjutkan penyelidikan.

Kontak Cohen dengan Bensouda, yang dijelaskan kepada Guardian oleh empat orang yang akrab dengan laporan terbaru jaksa tentang interaksi tersebut, serta sumber-sumber yang diberi pengarahan tentang operasi Mossad, telah dimulai beberapa tahun sebelumnya.

Dalam salah satu pertemuan awal, Cohen mengejutkan Bensouda ketika dia muncul tiba-tiba dalam pertemuan resmi yang diadakan Jaksa ICC dengan Presiden Republik Demokratik Kongo saat itu, Joseph Kabila, di sebuah hotel di New York.

Sumber-sumber yang akrab dengan pertemuan tersebut mengatakan setelah staf Bensouda diminta meninggalkan ruangan, Direktur Mossad tiba-tiba muncul dari balik pintu dalam "penyergapan" yang telah diatur dengan hati-hati.

Setelah insiden di New York, Cohen menghubungi jaksa, muncul tanpa diundang, dan melakukan panggilan yang tidak diinginkan. Sementara awalnya bersahabat, kata sumber, perilaku Cohen menjadi semakin mengancam dan mengintimidasi.

Sekutu dekat Netanyahu saat itu, Cohen adalah mata-mata veteran Mossad dan memiliki reputasi dalam dinas sebagai perekrut agen yang terampil dengan pengalaman membina pejabat tingkat tinggi di pemerintahan asing.

Baca Juga: Biden Kecam Upaya ICC Tangkap Netanyahu: Apa yang Terjadi di Palestina Bukan Genosida

Eksterior kantor Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, 30 April 2024. (Sumber: Peter Dejong/Associated Press)

Kisah pertemuan rahasianya dengan Bensouda memberi gambaran yang lebih kompleks, seorang pejabat yang memiliki wewenang besar tetapi yang interaksi kasarnya memperburuk hubungan Israel dengan ICC.

Hubungan Cohen dengan Bensouda menarik perhatian beberapa pejabat senior ICC yang berusaha membatasi interaksi dengannya. Tetapi, kata beberapa sumber, pengaruh Cohen atas Netanyahu, serta statusnya yang sangat dihormati di Israel, memberinya kelonggaran untuk melakukan pekerjaannya tanpa pengawasan yang signifikan.

Hubungan Bensouda dengan Direktur Mossad semakin memburuk, kata para pejabat ICC, terutama ketika Cohen meningkatkan apa yang disebut sumber sebagai "kampanye pencemaran nama baik" terhadap dirinya di media internasional.

Kampanye tersebut termasuk penyebaran informasi palsu tentang Bensouda yang mengeklaim bahwa dia memiliki hubungan keuangan dan pribadi yang tidak pantas di negara asalnya, Gambia, serta upaya untuk menggambarkannya sebagai simpatisan teroris. Informasi palsu tersebut diedarkan kepada pers dan lembaga think-tank sayap kanan di AS.

Dalam salah satu contoh, Cohen membuat klaim yang tidak berdasar kepada media bahwa Bensouda punya "simpati kepada teroris Islamis" karena status negaranya sebagai negara mayoritas muslim.

Menurut dua mantan pejabat ICC, hubungan mereka sangat tegang sehingga pada satu titik Bensouda memberi tahu kepala pengamanan ICC bahwa dia takut akan keselamatannya setelah menerima telepon yang sangat mengancam dari Cohen.

Ketika ICC meminta Bensouda untuk berkomentar, dia tidak menanggapi, tetapi staf ICC mengonfirmasi dia merasa tidak nyaman dengan Cohen. Mossad menolak mengomentari klaim yang berkaitan dengan hubungan Cohen dengan jaksa ICC.

 

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : The Guardian


TERBARU