Presiden Iran Ebrahim Raisi Dinyatakan Tewas, Dikenal sebagai Politikus Garis Keras dan Konservatif
Kompas dunia | 20 Mei 2024, 14:51 WIBTEHERAN, KOMPAS.TV - Presiden Iran Ebrahim Raisi dinyatakan meninggal pada Senin (20/5/2024) pagi setelah helikopter yang ia tumpangi bersama pejabat senior lainnya jatuh di Provinsi Azerbaijan Timur.
Pemimpin politik berusia 63 tahun ini telah lama dianggap sebagai penerus Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, yang merupakan otoritas tertinggi di Iran.
Raisi, yang merupakan politisi garis keras dan konservatif secara agama, pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2017, namun gagal. Dia akhirnya terpilih pada tahun 2021.
Raisi mulai belajar di seminari keagamaan Qom yang terkenal pada usia 15 tahun, dan melanjutkan belajar di bawah bimbingan beberapa cendekiawan muslim pada saat itu.
Baca Juga: Rekaman Terakhir Presiden Iran Ebrahim Raisi Sebelum Helikopternya Dilaporkan Jatuh
Di awal usia 20-an, ia diangkat menjadi jaksa di beberapa kota, hingga akhirnya bertugas di ibu kota Teheran untuk bekerja sebagai wakil jaksa.
Pada tahun 1983, ia menikah dengan Jamileh Alamolhoda, putri Imam Masyhad Ahmad Alamolhoda. Mereka kemudian memiliki dua anak perempuan.
Selama lima bulan pada tahun 1988, ia menjadi bagian dari sebuah komite yang mengawasi serangkaian eksekusi tahanan politik, sebuah masa lalu yang membuatnya tidak populer di kalangan oposisi Iran dan menyebabkan Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi terhadapnya. Pada tahun 1989, ia diangkat menjadi jaksa di Teheran setelah kematian Pemimpin Tertinggi pertama Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Raisi terus naik pangkat di bawah pengganti Khomeini, Ayatollah Khamenei, dan menjadi Ketua Astan Quds Razavi, lembaga keagamaan terbesar di Masyhad pada tanggal 7 Maret 2016, yang mengukuhkan statusnya dalam pemerintahan Iran.
Mencalonkan diri sebagai presiden
Seperti dikutip dari Al Jazeera, Raisi pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2017 melawan Hassan Rouhani, yang mencalonkan diri kembali. Rouhani telah mengawasi negosiasi perjanjian nuklir Iran tahun 2015 dengan negara-negara besar, membatasi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi.
Seorang kritikus terhadap kesepakatan tahun 2015 – yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) – Raisi berasal dari blok yang lebih garis keras dibandingkan Rouhani, yang dipandang sebagai seorang moderat dalam sistem politik Iran.
Baca Juga: Media Iran Sebut Presiden Ebrahim Raisi dan Menlu Hossein Amir Abdollahian Tewas: Mereka Martir
Setelah kekalahannya, Raisi mulai merencanakan kampanye presiden berikutnya. Pada bulan Juni 2021, ia memperoleh 62 persen suara. Namun, pemilu tersebut dirusak oleh rendahnya jumlah pemilih, yang hanya pencapai 48,8 persen dari total pemilih. Rendahnya partisipasi pemilu ini terjadi karena beberapa tokoh reformis dan moderat dicegah untuk mencalonkan diri.
Raisi memiliki kredibilitas yang kuat dalam lembaga keagamaan, dengan hubungan yang kuat dengan mendiang Khomeini serta dengan Khamenei, yang telah menunjuknya ke beberapa posisi senior.
Ia juga berhasil menjaga hubungan baik dengan semua cabang pemerintahan, militer dan legislatif serta kelas penguasa teokratis yang kuat.
Namun, Raisi memimpin Iran pada saat masyarakat marah atas memburuknya standar hidup. Dia dikritik karena memprioritas pertahanan dibandingkan masalah-masalah dalam negeri.
Pada akhir tahun 2022, kemarahan publik meletus atas kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi moral Iran. Gadis berusia 22 tahun tersebut ditangkap ketika meninggalkan stasiun metro di Teheran bersama anggota keluarganya karena dugaan ketidakpatuhan terhadap aturan wajib jilbab.
Protes mengguncang Iran selama berbulan-bulan, dan para perempuan melepas atau membakar jilbab mereka dan memotong rambut mereka sebagai bentuk protes.
Unjuk rasa tersebut berakhir pada pertengahan tahun 2023 setelah sekitar 500 orang terbunuh ketika pasukan keamanan bergerak untuk membubarkan protes tersebut, menurut organisasi hak asasi manusia asing. Tujuh orang dieksekusi karena peran mereka dalam kerusuhan tersebut.
Misi pencari fakta PBB menyimpulkan pada bulan Maret tahun ini bahwa Iran melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam tindakan keras tersebut, termasuk pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan.
Penulis : Tussie Ayu Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Al Jazeera